Minggu, 23 Mei 2010

Satu Dasawarsa Pemisahan TNI-Polri


Krisis ekonomi mulai menyerang Indonesia pada pertengahan 1997, merupakan peristiwa yang mengejutkan mengingat perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup baik sebelumnya. Krisis ekonomi yang menyerang Indonesia merupakan serentetan krisis ekonomi yang juga menyerang negara asia lainnya, seperti Thailand, Malaysia, juga Korea Selatan.
Berbagai kondisi yang menyebabkan ekonomi menurun, ditambah situasi politik yang tidak stabil kemudian semakin memicu tuntutan mundur terhadap Presiden Soeharto, yang disuarakan baik oleh mahasiswa, aktivis LSM, maupun cendekiawan dan akademisi yang lain.
Presiden Soeharto tidak mampu mempertahankan pemerintahannya dan memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998. Pada tanggal itu pula, Wakil Presiden Burhanuddin Jusuf Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Presiden Soeharto. Perubahan pemerintahan yang terjadi turut mengubah karakter sistem politik Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik.
            Perubahan sosial-politik yang terjadi, berdampak besar pada kehidupan politik nasional. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional, termasuk di dalamnya pembinaan ABRI ( TNI dan Polri ) ke arah yang lebih profesional.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie terdapat penurunan keikutsertaan ABRI dalam politik[1]. Hal ini terkait tuntutan – tuntutan agar ABRI menerapkan profesionalisme dengan prinsip conventional professionalism bukan new professionalism seperti saat pemerintahan sebelumnya[2]. Dalam kerangka profesional konvensional, ABRI dituntut semaksimal mungkin melepaskan peranan politiknya.
Sejalan dengan tuntutan tersebut, kemudian pada tanggal 1 April 1999 diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia no. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI untuk secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya dalam rangka reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasinal Kepolisian Negara Republik Indonesia Indonesia pada Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia[3]. Selain itu Pemerintah mengganti penyebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Saat  pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjalan, pembenahan dan pengurangan jabatan politik yang banyak dipegang ABRI berlanjut. Dalam era Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, konsep supremasi sipil[4] betul-betul ditekankan. Kendali sipil atas pemerintahan dikonsolidasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid setelah ia terpilih. Jabatan-jabatan bagi militer dikurangi mulai di tingkat pusat seperti jabatan direktur jenderal, inspektur jenderal, dan jabatan tinggi negara, sampai jabatan di tingkat daerah, seperti gubernur dan bupati. Jabatan Menteri Pertahanan dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional yang selalu dijabat personil militer, dipercayakan kepada kalangan sipil.
            Untuk meningkatkan profesionalisme dan menempatkan pada fungsinya yang tepat, maka kemudian di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, secara tegas dipisahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari  struktur kemiliteran Indonesia. Kepala Polri tidak lagi berada di bawah komando maupun bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan, tetapi kepada Presiden. 
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, Pasal 30 ayat (1) menjelaskan: Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Untuk memperjelas fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia maka di ayat (3) dijelaskan: Tentara Nasional Indonesia terdiri ata Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara; di ayat (4) dijelaskan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Kemudian berdasarkan ketentuan tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 MPR menerbitkan ketetapannya no. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Juga Tap MPR no. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Tap MPR no. VII/MPR/2000 pasal 2 disebutkan pada ayat (1) bahwa Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, terkait dengan peran Polri dijelaskan pada pasal 6 ayat (1) bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
 Berdasarkan kedua ketetapan MPR tersebut kemudian disusun Undang-Undang no 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang no 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang no 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam struktur baru tersebut, TNI bergerak dan bertanggungjawab di bidang pertahanan negara, sementara Polri berkewenangan dan bertanggungjawab di bidang keamanan[5]. Bidang pertahanan mengemban tugas untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, menjaga keutuhan wilayah negara, dan menjaga keselamatan serta martabat bangsa dan negara. Menurut UU no. 34 tahun 2004 yang dimaksud pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sementara di bidang ketertiban umum, mengemban tugas dalam penegakan hukum, menjaga ketertiban hidup sehari-hari dalam masyarakat, melindungi keselamatan , ketentraman, dan ketertiban hidup anggota masyarakat[6]. Menurut UU no. 2 tahun 2002 Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Sementara keamanan dalam negeri diartikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pemisahan TNI dan Polri tersebut mengandung konsekuensi pada penataan kedua lembaga tersebut sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal ini merupakan bagian dari amanat demokrasi yang memisahkan fungsi keduanya dengan tegas. Kedua lembaga tersebut kemudian dituntut untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Pelembagaan politik dalam konteks demokrasi kemudian diterjemahkan dengan memisahkan secara tegas, dan bentuk-bentuk koordinasi yang secara kelembagaan layak dilakukan. Pemisahan tersebut ternyata menimbulkan implikasi yang tidak cukup baik. Sejak pemisahan, hubungan antara TNI dengan Polri cenderung memburuk, terlihat dengan seringnya terjadi bentrokan antara kelompok TNI dengan kelompok Polri di beberapa tempat di Indonesia.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil. Kekuasaan sipil adalah yang utama.
Supremasi sipil membuat kekuatan bersenjata sebagai penjaga hukum dan konstitusi, yang berarti mendukung, menjaga, dan mempertahankan militer sebagai institusi pertahanan negara, dan juga menjaga kondisi yang telah terbentuk dengan baik dalam negara[7]. Tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Sementara kepolisian berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[8].
Namun yang terjadi kemudian adalah kemunculan konflik yang terus menerus antara kelompok TNI melawan kelompok Polri. Sedikitnya terjadi 32 kali konflik bersenjata di berbagai tempat di Indonesia dalam rentang waktu Februari 2001 sampai Februari 2008.[9]
Argumen utama dari tulisan ini adalah pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik. Terlihat dari sebaran konflik yang hampir diseluruh wilayah Indonesia. Faktor struktur dan kepentingan TNI dan Polri memicu konflik yang terjadi. Penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan dalam negeri ternyata memunculkan persoalan pada tataran peran dan kewenangan antara TNI dan Polri.
Meskipun telah ditegaskan peran dan fungsi masing-masing lewat undang-undang, namun wilayah abu-abu kewenangan TNI dan Polri masih ada, dan hal ini menjadi penyebab ketidakselarasan kinerja TNI dan Polri. Wilayah abu-abu ini adalah untuk menunjuk sejumlah aktivitas yang diklaim militer sebagai operasi militer selain perang.
Dalam UU no. 34 tahun 2004 pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa operasi militer selain perang adalah mengatasi gerakan separatisme bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menaggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
 Ada persinggungan antara tugas keamanan dan ketertiban dalam negeri yang diemban oleh Polri dengan operasi militer selain perang yang diatur dalam pasal 2 UU no. 34 tahun 2004 tersebut. Sebagai contoh adalah fungsi penegakan hukum di wilayah laut dan udara, masih terdapat ketidakjelasan wewenang antara TNI dan Polri. Dalam UU no. 34 tahun 2004 pasal 9 dan 10 menjelaskan bahwa TNI AL dan TNI AU bertugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut dan udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Sementara itu, tugas penegakan hukum ini juga dimiliki Polri yang memiliki kesatuan polisi air dan udara.
Selain itu, sebagai contoh yang lain, kewenangan yang sama dalam mengamankan obyek vital. Yang berbeda hanyalah landasan hukumnya, jika TNI bertugas mengamankan obyek vital dipayungi pasal 7 ayat (2) UU no. 34 tahun 2004, maka Polri berlandaskan Keppres no. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional.  Persinggungan peran dan fungsi tersebut akhirnya dapat menimbulkan permasalahan, seperti bentrokan antara TNI dengan Polri.
Konflik yang terjadi menunjukkan kelembagaan Polri dan TNI belum disiapkan secara memadai dalam menghadapi pemisahan Polri dari TNI. Hal tersebut menyangkut masalah struktural dan mental anggota TNI dan Polri. Di samping itu , ada pula pihak yang berpendapat bahwa konflik yang terjadi antara TNI – Polri tersebut mungkin juga disebabkan oleh euphoria yang dialami para anggota Polri sesudah sejak tahun 1960, berdasarkan Tap MPRS no II dan III yang menetapkan secara struktural Polri berada di bawah komando TNI.
Faktor kedua yang membuat hubungan kedua institusi ini mengalami ketegangan adalah faktor sejarah. Sejak reformasi, Polri berdiri sejajar dengan TNI, padahal sebelumnya sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru, Polri terkesan berada di bawah TNI. Dapat dikatakan di sini, salah satu faktor yang menyebabkan ketegangan dan konflik adalah post power syndrome TNI terhadap Polri. Hal ini dapat terlihat dengan sikap dan pernyataan anggota TNI yang merasa kewenangannya semakin terbatasi dan merasa tugas dan kewenangan Polri terlalu besar, yang membuat anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri. Ketika masih menjadi satu dalam ABRI, polisi merupakan unsur yang terkesan inferior jika disandingkan dengan ketiga angkatan TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Polisi merasa sungkan untuk mengusut kasus yang didalamnya melibatkan unsur TNI. Sehingga ketika Polri telah dipisahkan dari TNI banyak anggota Polri yang bertindak ”lepas kendali” yang serta merta dengan hal itu ”sumber kekuasaan” atau ”sumber fasilitas” dari anggota Polri menjadi sulit dinikmati anggota TNI. Ungkapan tentara di lapangan bahwa polisi “sombong sekali, padahal dulu cuma adik kecil kami,” atau sebaliknya di aparat kepolisian di lapangan bahwa, “tentara jangan mengurusi urusan keamanan yang jadi wewenang polisi,”, adalah sesuatu yang umum. Banyak anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri[10]. Hal tersebut dikarenakan TNI masih merasa superior jika berhadapan dengan polisi.
Ketiga, kemudian adalah mengenai esprit de corps yang sempit. Hal ini mengakibatkan rasa kecintaan terhadap kesatuan yang besar dan menganggap kesatuan lain kecil. Dominasi konstruksi ideologi yang tertanam pada jiwa masing-masing kesatuan itu menjadi faktor pendukung yang kuat ketika terjadi perselisihan. Wujudnya berupa sikap egois, rasa berbeda, rasa tersaingi dan rasa melebihi dari yang lain. Membuat permasalahan kecil yang semula terjadi hanya antar individu yang kebetulan berbeda kesatuan, melebar menjadi ketegangan dan bahkan hingga ke konflik antar kesatuan.
Faktor terakhir penyebab ketegangan dan konflik bersenjata antara TNI dan Polri yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai faktor pemenuhan kesejahteraan antara anggota TNI dan Polri. pengelolaan sektor keamanan yang dialihkan dari tangan tentara ke polisi, mengandung konsekuensi ekonomi praktis, yaitu hilangnya akses sumberdaya tentara. Dalam hal prajurit, sekaligus berarti sumber penghasilan tambahan yang hilang. Anggota TNI saat ini tidak boleh lagi berbisnis, sementara penghasilan yang diperoleh belum mampu mensejahterakan kehidupan anggota TNI, sedangkan polisi dengan gaji yang sama diterima anggota TNI namun masih memperoleh tambahan dari berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti dari urusan lalu lintas yang sering disalahgunakan sehingga dapat memberikan penghasilan lebih. . Polri menjadi semacam penguasa baru di daerah tanpa dibarengi dengan penguatan kelembagaannya. Terdapat kesenjangan penerimaan fasilitas saat melakukan tugas di tengah masyarakat akibat adanya perbedaan akses. Masalah kesejahteraan adalah juga menjadi salah satu faktor penyebab bentrokan. Perbedaan tingkat kesejahteraan antara prajurit TNI dan Polri sebagai salah satu akar permasalahan. Ini memunculkan kecemburuan TNI. Hal-hal tersebut menimbulkan kecemburuan dari anggota TNI. Persepsi-persepsi sedemikian tersebut membuat ketegangan-ketegangan dan berujung ke konflik antara TNI dan Polri kerap terjadi.
Profesionalisme berarti melakukan tugas dan fungsi dengan benar sesuai bidang pekerjaannya. Polisi mengemban tugas penegakan hukum, menjaga ketertiban hidup sehari-hari dalam masyarakat, melindungi keselamatan dan ketentraman serta ketertiban hidup anggota masyarakat. Sementara TNI mengemban tugas untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, menjaga keutuhan wilayah negara, dan menjaga keselamatan serta martabat bangsa dan negara. Akibat berbagai faktor di atas, terutama faktor ekonomi yang menyebabkan kecemburuan antara pihak TNI dan Polri, menyebabkan hubungan antara keduanya seringkali tegang dan bahkan kemudian mengarah ke konflik fisik yang seringkali berakibat fatal, baik bagi kedua institusi tersebut, maupun juga berimbas ke masyarakat umum. Tugas-tugas pertahanan dan keamanan seperti tersebut di atas yang menjadi tanggung jawab TNI-Polri menjadi tidak bisa terlaksana dengan baik. Menuntut profesionalisme anggota TNI-Polri, namun tanpa memperhatikan persoalan kesejahteraannya adalah hal yang kurang dapat diterima. Hal tersebut juga dikemukakan petinggi Polri, Komjen Susno Duadji, dalam bukunya, “ Manalah mungkin menuntut dedikasi tinggi dan memelihara kejujuran polisi-polisi yang dapurnya tak berasap…[11]”.
Demikianlah, pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI. Terjadi mulai dari ujung barat hingga timur Indonesia. Seperti konflik antara Batalyon 111 Kompi B TNI-AD melawan anggota Brimob di Aceh pada 25 November 2004, pada 27 Februari 2001 terjadi bentrokan antara Brigade Mobil (Brimob) Polri dengan TNI di Pelabuhan Sampit, Kalimantan Tengah. Kemudian terjadi bentrokan juga di Sulawesi, pada 9 Januari 2006, bentrokan pecah di Poso, Sulawesi Tengah, juga pada 13 Januari 20007 terjadi bentrokan antara Kodim 1307 TNI-AD melawan Polri di Poso, Sulawesi Tengah melibatkan Brimob Polri melawan TNI-AD.
Selain itu bentrokan juga terjadi di Jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti pada tanggal 29 April 2005 terjadi bentrokan antara TNI melawan Polri di Cimanggis, Depok, di Gianyar, Bali pada 29 September 2005, dan pada 10 Desember 2006 di Atambua, NTT, antara Yonif 744 TNI-AD melawan Provost Polres Belu, juga pada tanggal 24 September 2007 bentrokan kembali terjadi yang melibatkan TNI-AD Batalion Infanteri 732 Benau dengan Polda Maluku Utara di Ternate, Maluku Utara. Konflik bersenjata antara TNI dengan Polri ini pun kemudian juga merambah hingga daerah Paling timur Indonesia, seperti pada tanggal 7 Oktober 2007 di Mimika, Papua antara TNI AD melawan Satlantas Polres Mimika. Sebaran konflik yang merata di hampir seluruh penjuru Indonesia ini menandakan bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik.
Faktor-faktor di atas menjadi penyebab ketegangan hubungan dan konflik antara TNI dan Polri. Profesionalisme berarti melakukan tugas dan fungsi dengan benar sesuai bidang pekerjaannya, namun akibat berbagai hal di atas, TNI dan Polri menjadi kurang profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya.







[1] Antara lain pengurangan kursi Fraksi TNI/Polri di DPR, sejak 18 November 1966 sampai dengan Pemilihan Umum 1987, jumlah anggota ABRi di DPR sebanyak 75 orang. Kemudian ketika periode 1987-1992, jumlah tersebut meningkat menjadi 100 orang, dan kembali menjadi 75 orang pada periode 1992-1997. kemudian berkurang menjadi 38 orang pada 1999. lihat, Yahya A. Muhaimin, Bambu Runcing & Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertahanan Indonesia, ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008 ), hal 53
[2] Pada konsep profesionalisme konvensional yaitu militer yang hanya digunakan sebagai alat pertahanan negara. Militer yang profesional adalah yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan tanggung jawab dalam pertahanan negara dan harus terbebas dari urusan-urusan non militer karena dapat memberikan ketidakkonsentrasiaan terhadap tugas pertahanan negara yang sedang dilaksanakan. Sementara konsep new profesionalism, negara-negara di dunia ini sedang menghadapi keadaan perang semesta, dan menghasilkan ancaman-ancaman bagi integritas negara bangsa. Ancaman-ancaman tersebut berupa ancaman ideologis, maupun ancaman sosial, ekonomi dan politik. Untuk mengatasi dan memenangkan perang tersebut diperlukan pendayagunaan seluruh potensi nasional yang ada serta kemampuan bangsa seoptimal mungkin. Dalam perspektif Indonesia dikenal dengan konsep jalan tengah. Dalam pidatonya 12 November 1958, Nasution berkata militer  Indonesia tidak bisa meniru konsep professionalisme gaya Eropa Barat yang pasif dalam politik, namun militer Indonesia juga tidak dapat meniru gaya-gaya militer Amerika Latin yang masuk ke arena politik secara langsung. Atas dasar inilah Nasution kemudian menelurkan konsep jalan tengah. Dalam konsep ini Nasution berargumen bahwa sikap profesional militer sebagai alat pertahanan negara tetap terjaga dalam kesatuan, namun juga harus diberi kesempatan untuk berperan dalam bidang selain kemiliteran.  Lihat,  Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hal 116; lihat juga, Soebijono dkk, Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998) , hal vi-vii
[3] Diktum kedua Instruksi Presiden Republik Indonesia no. 2 Tahun 1999. http://welcome.to/RGS_Mitra diakses 5 Oktober 2009
[4] Lihat, S. E. Finer, The Man on Horseback  (New York: Frederick A. Praeger, Publisher, 1962), hal 25-30. supremasi sipil, dalam konteks menerapkan negara demokrasi, yaitu : Pertama, tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia; Kedua, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Ketertiban dan keamanan dalam negeri terutama urusan polisi, jaksa, pengadilan, dan badan sipil lain yang memelihara keamanan dan ketertiban umum; Ketiga, tentara tidak boleh terlibat ”politik praktis”. Lihat, Juwono Sudarsono, Demokrasi, Supremasi Sipil, dan Tentara, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/24/opini/2146320.htm.diakses 18 Maret 2008.
[5] Lihat, Yahya A. Muhaimin, Bambu Runcing & Mesiu…, op. cit, hal 55. lihat juga, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer..., op. cit, hal xxv-xxvii.
[6] Ibid, Bambu Runcing & Mesiu…, hal 2
[7] Lihat, Juwono Sudarsono, Demokrasi..., op. cit.
[8] Lihat, Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 2; lihat juga Undang-Undang No 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 5 dan Pasal 6.
[9] Yahya A. Muhaimin, op. cit,. hal 36-37.
[10] Ibid, hal 39-40
[11] Izharry Agusjaya Munzir, Bukan Testimoni Susno, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal 28-29.

Kamis, 20 Mei 2010

TINDAKAN KEKERASAN DI IPDN: PENAFSIRAN TRADISI DAN BUDAYA MILITER MENJADI TRADISI DAN BUDAYA KEKERASAN DALAM RUANG PENDIDIKAN SIPIL



“ Semua umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam martabat dan hak – hak asasi. Mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani serta semestinya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.”
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1[1]
            Kekuasaan Orde Baru di Indonesia memunculkan ABRI sebagai salah satu aktor politik yang berpengaruh di Indonesia. Besarnya pengaruh politik ABRI tersebut perlahan tapi pasti telah menciptakan tradisi dan budaya militer, yang berkarakter disiplin dan terkomando pada banyak aspek kehidupan masyarakat. Oleh masyarakat Indonesia tradisi dan budaya militeristik ini kemudian diadopsi dalam berbagai aspek kehidupan.
            Tradisi yang bersifat militeristik dapat ditemukan di mana-mana, seperti pada upacara seremonial, selain itu tradisi dan budaya militer juga masuk ke dalam dunia pendidikan. Seperti dapat dilihat keberadaan Resimen Mahasiswa di kampus perguruan tinggi yang pertama kali dikukuhkan pada tahun 1975 oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri yaitu Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Menhankam/Pangab), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri melalui SKB No: Kep/39/XI/1975 dan ditindak lanjuti SKB No: Kep/02/1/1978 kemudian SKB tahun 1994.[2] Selain itu dalam hal pendidikan, dapat dilihat pula lembaga-lembaga pendidikan sipil namun menggunakan peraturan, atribut, juga sikap layaknya seorang militer.
            Pendidikan bergaya militer yang dimaksudkan untuk membentuk pribadi siswa yang disiplin, dalam prakteknya kemudian menghasilkan tradisi dan budaya kekerasan dalam lingkungan pendidikan tersebut, yang sebenarnya tidak sepenuhnya terdapat dalam pendidikan militer.
Penafsiran bahwa budaya militer adalah budaya yang keras kemudian menciptakan persepsi bahwa mendidik seperti militer adalah berarti pendidikan yang juga menghalalkan tindakan kekerasan dalam mendisiplinkan peserta didik. Penerjemahan yang salah tersebut kemudian mewujud ke dalam tindak kekerasan, baik fisik maupun verbal, kepada peserta didik dan hal tersebut mengarah kepada tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah mengenai tindak kekerasan yang terjadi di IPDN. Kekerasan yang terus berulang terjadi ini sebagai akibat dari terus dibiarkannya budaya kekerasan yang terjadi dalam lembaga pendidikan tersebut.

Kekerasan yang Terjadi di IPDN
            Pendidikan tidak seharusnya dinodai dengan tindak kekerasan yang tidak dapat dibenarkan. Pendidikan seharusnya merupakan jalan agar seorang manusia dapat membangun jiwanya agar lebih bijaksana dan memiliki sikap toleransi. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan, Bab I ayat 1, telah sangat jelas diuraikan bahwa Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[3]
            Tindak kekerasan yang terjadi di IPDN hingga saat ini menunjukkan bahwa pihak pengelola lembaga pendidikan belum mampu mengubah kultur yang selama ini telah tertanam dalam jiwa mahasiswanya. Kultur pendidikan militer yang kemudian ditafsirkan secara berbeda menjadi kultur kekerasan itu terbangun terus menerus, terbangunnya kultur yang demikian karena tindak kekerasan yang dilakukan tersebut kemudian menimbulkan rasa dendam pada diri siswa yang dipukul dan menyebabkan keinginan untuk membalas. Pembalasan tidak mungkin dilakukan pada pelaku pemukulan karena rasa takut, tapi akan tersalur kepada orang lain yaitu adik kelasnya.[4] Hal demikian berulang terus menerus sehingga siklusnya tidak terputus dan menghasilkan tradisi dan budaya kekerasan[5] di lingkungan pendidikan.
            Tanggal 3 April 2007, peristiwa meninggalnya Cliff Muntu[6], salah seorang praja tingkat II di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Sebelumnya pada 2 September 2003 terjadi peristiwa yang hampir sama yang menewaskan praja Wahyu Hidayat.[7] Tiga tahun sebelumnya, tahun 2000, praja Erie Rakhman juga tewas.[8] Ketiga peristiwa di atas menjadi bukti budaya kekerasan yang terdapat dalam institusi pendidikan itu.
            Jika kondisi semacam itu berlangsung pada setiap angkatan, terjadi lingkaran kekerasan. Tradisi itu membentuk batasan tersendiri yang khas kampus bersangkutan, antara lain menyangkut pertama, definition of activity. Kekerasan yang sudah lama dipraktikkan di lingkungan setempat akan dianggap wajar oleh komunitas di tempat itu, meski amat bertentangan dengan nilai-nilai umum di masyarakat. Kedua, definition of social relation. Individu yang terbiasa dengan lingkungan kekerasan akan mendefinisikan hubungan sosialnya dengan simbol kekerasan.[9]
  
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Terjadi
            Berdasarkan Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 Butir 4, Penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan  atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.[10] Sedang penyiksaan menurut Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Pasal 1 adalah
            Kemudian definisi pelanggaran hak asasi manusia menurut Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal  1 Butir 6 adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
            Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.[12] Hal di atas cukup menjelaskan bahwa hak setiap orang uuntuk memperoleh pendidikan tidak boleh dihalangi oleh tindakan yang melanggar hak asasi manusia, salah satunya adalah tindak kekerasan yang dilakukan baik oleh pengajar kepada peserta didik, maupun sesama peserta didik. 
            Berdasarkan definisi tentang penyiksaan yang tersebut di atas maka tindakan kekerasan yang dilakukan di IPDN adalah perbuatan penyiksaan yang melanggar hak asasi manusia karena tindakan yang dilakukan tersebut adalah tindakan yang berlawanan dengan  Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Pasal 1, juga bertentangan dengan Undang – Undang No 39 tahun 1999 karena telah diadakannya tindak penyiksaan sehingga menyebabkan berkurangnya hak seseorang untuk mendapatkan perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, serta meningkatkan kualitas hidupnya juga hak orang untuk  bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.[13] Selain itu juga mengurangi hak orang untuk rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.[14] Kemudian pelanggaran yang selanjutnya yang terjadi adalah pelanggaran mengenai hak hidup seseorang. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.[15]
            Budaya kekerasan yang terjadi di IPDN adalah budaya yang tercipta akibat penafsiran yang keliru terhadap pendidikan berbasis militer yang kemudian mengarah pada tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Tindak kekerasan yang terjadi di IPDN hingga saat ini menunjukkan bahwa pihak pengelola lembaga pendidikan belum mampu mengubah kultur yang selama ini telah tertanam dalam jiwa mahasiswanya.
            Melihat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sudah seharusnya pemerintah menindak tegas pelakunya dan segera memperbaiki sistem dan sturktur pendidikan yang terdapat di IPDN. Kejahatan dalam dunia pendidikan ini berlangsung karena diberi ruang oleh struktur yang sah, senior diberi hak atau dibiarkan menindas juniornya.
Hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi.[16] Berdasarkan Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 71,  Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.[17]
Oleh karena itu pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment ke dalam hukum nasionalnya dengan Undang – Undang No. 5 Tahun 1998 maka seharusnya mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
Selain dituntut peran pemerintah yang lebih aktif dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti telah disebutkan di atas, sewajarnya juga setiap individu khususnya dalam lingkungan di IPDN, selain itu juga masyarakat luas mampu menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang mengarah pada tindak kekerasan yang kemudian menjurus pada tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Juga aktif melaporkan setiap tindakan seperti yang disebut di atas agar penegakan hak asasi manusia dapat diwujudkan. Seperti yang disebutkan dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 100, Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.[18]
Demikianlah telah diuraikan bagaimana tradisi dan budaya militer telah disalah artikan menjadi budaya kekerasan dalam ruang pendidikan sipil yang kemudian mengarah pada tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dalam kasus di atas adalah tindakan kekerasan di IPDN. Bagaimanapun semua pihak wajib berperan dalam upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia, pemerintah juga seharusnya mampu bertindak tegas dan mengubah sistem dan struktur pendidikan yang terdapat dalam IPDN sehingga lembaga pendidikan ini dapat berjalan seperti lembaga pendidikan sewajarnya.




Daftar Pustaka
Adil, edisi 14, 19 April – 02 Mei 2007. Jakarta: Media Insan Semesta.   
Miller, Lynn H. 2006. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin, Yahya A. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nitibaskara, TB. Ronny.2008. Lingkaran Kekerasan STPDN. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0309/26/opini/580421.htm diakses 24 Mei 2008
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment



[1] Lihat, Lynn H. Miller, Agenda Politik Internasional, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 ), hal 378
[2] Lihat, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002 ), hal xiv
[3] UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[4] Lihat, Hukuman dalam Mendidik Bukan Alasan Menghalalkan Kekerasan, dalam Adil No. 14, 19-02 Mei 2007, hal 60.
[5] Terbentuknya lingkaran kekerasan, bisa jadi ada kontribusi dari junior yang dalam konteks kekerasan ini adalah pihak yang menjadi korban. Sedikitnya ada tiga faktor yang menguasai cara berpikir "korban" yang dapat membantu kian kukuhnya lingkaran kekerasan itu.
Pertama, Compliance, junior patuh, tidak melawan karena hal ini dipandang oleh yang bersangkutan sebagai usaha menghindarkan diri dari hukuman yang lebih keras. Dengan menyerah dan menerima segala perlakuan buruk, berharap agar siksaan lekas berhenti dan tidak timbul kekerasan lain yang lebih keji.
Kedua, identifikasi. Pada cara berpikir ini, junior tabah menerima deraan yang penuh kesakitan karena ia tidak ingin dikeluarkan dari kelompok. Mereka berharap menjadi bagian dari kelompok, tidak hendak dicap sebagai pengecut. Dorongan untuk tetap menjadi mahasiswa membuat mereka tabah, dan perlahan-lahan mulai mencari pembenaran atas kekerasan yang berlangsung. Proses identifikasi inilah yang barangkali nantinya akan membekali para praja berlaku kejam pula pada mahasiswa yang datang kemudian. Namun, karena tidak ada standar baku, perlakuan itu akan bertambah keras dan bengis.
Proses berpikir ketiga adalah internalisasi. Pada tahap ini junior berusaha menyerap semua yang didapat di STPDN sebagai sesuatu yang baik karena berada di kampus itu sudah diidamkan sejak semula. Pandangan atau nilai pribadi dikalahkan agar dapat menerima apa-apa yang baru dijumpai meski disadari, hal itu buruk. Lihat, Tb Ronny Nitibaskara, Lingkaran Kekerasan STPDN, dalam http://64.203.71.11/kompas-cetak/0309/26/opini/580421.htm diakses 24 Mei 2008
[6] Lihat, IPDN Setor Mayat Lagi, dalam Opcit. Adil, hal 34
[7] Lihat, STPDN, Miniatur Indonesia yang Tercabik, dalam  http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/12/sh05.html diakses 24 Mei 2008
[8] Lihat, Keadilan Versus Keberingasan, dalam  http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2622&coid=1&caid=52 diakses 24 Mei 2008
[9] Ibid.
[10] Undang – Undang No. 39 tahun 1999, dalam http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=1999+0&f=uu39-1999.htm diakses 22 Mei 2008  
[11] Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
[12] Pasal 12 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid.
[13]  Pasal 33 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid.
[14]  Pasal 30 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid
[15] Pasal 9 butir 1 dan 2 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid.
[16] Lihat, Pasal 4 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999, Ibid; Juga disampaikan oleh Drs. Dafri Agussalim, MA dalam mata kuliah Pengantar Studi Hak Asasi Manusia Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL – UGM, Yogyakarta pada tanggal 09 Mei 2008.
[17] Pasal 71 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999, Lihat Ibid.
[18] Pasal 100 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999, Lihat Ibid.

KELOMPOK KEPENTINGAN DAN KELOMPOK PENEKAN DI AUSTRALIA: SERIKAT BURUH, ACTU, DAN EFEKTIFITASNYA


 KELOMPOK KEPENTINGAN DAN KELOMPOK PENEKAN DI AUSTRALIA: SERIKAT BURUH, ACTU, DAN EFEKTIFITASNYA

Pendahuluan
Menurut Gabriel Almond, setiap sistem politik haruslah memiliki fungsi dan struktur politik tertentu. Fungsi politik  ialah fungsi input dan fungsi output.[1] Dalam masyarakat politik modern terdapat struktur–struktur politik salah satunya adalah kelompok kepentingan.
Kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah dapat menguntungkan maupun merugikan masyarakat. Kepentingan dan kebutuhan rakyat dapat dipenuhi namun dapat pula terabaikan dan tidak terpenuhi. Oleh karena itu rakyat berkepentingan dan perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintahnya. Oleh sebab di atas, mereka dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan mereka kepada pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama atas dasar kepentingan yang sama.
            Kelompok-kelompok yang dibentuk atas dasar persamaan kepentingan inilah yang kemudian  disebut kelompok kepentingan. Dalam penjelasan Gabriel Almond, kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang bertujuan dan berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah, tanpa menghendaki untuk duduk di jabatan publik. Kelompok kepentingan ini berbeda dengan partai politik, karena tujuan partai politik adalah menduduki jabatan publik.[2]  
            Kelompok kepentingan dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: pertama, kelompok anomik; kelompok ini terbentuk secara spontan dan hanya seketika, dan tidak memiliki nilai-nilai dan norma yang mengatur. Kedua, kelompok non-assosiasional; berwujud kelompok-kelompok keluarga dan keturunan atau etnik, regional, status, dan kelas yang menyatakan kepentingan tidak secara kontinyu. Ketiga, kelompok institusional; kelompok yang bersifat formal dan memiliki fungsi-fungsi politik atau sosial lain di samping artikulasi kepentingan. Keempat adalah kelompok assosiasional; kelompok ini menyatakan kepentingan dari suatu kelompok khusus, memakai tenaga profesional, dan memiliki prosedur baku untuk merumuskan kepentingan dan tuntutan.[3]
            Kelompok kepentingan memberikan input yang digunakan pemerintah untuk memutuskan kebijakan yang akan diambil terhadap rakyatnya. Input yang mereka berikan bertujuan agar pandangan-pandangan mereka dipahami oleh para pembuat keputusan dan agar mendapat output yang sesuai dengan tuntutan mereka. Dalam tulisannya Gabriel A. Almond, mengatakan untuk memberikan input pada pembuat kebijakan, salueran-saluran yang penting dan biasa digunakan adalah demonstrasi dan tindakan kekerasan; tindakan ini biasa digunakan untuk menyatukan tuntutan kepada pembuat kebijakan. Hubungan pribadi; hubungan langsung akan memudahkan dalam pencapaian tujuan, akan lebih mudah menerima saran teman, keluarga, atau orang lain yang dikenal daripada mendapat tuntutan dari orang yang tidak dikenal meskipun itu melalui sarana formal. Perwakilan langsung; perwakilan langsung dalam struktur pembuatan keputusan akan memungkinkan suatu kelompok kepentingan untuk mengkomunikasikan secara langsung dan kontinyu kepentingan-kepentingannya melalui seorang anggota aktif struktur tersebut. Saluran formal dan institusional lainnya; media massa merupakan alat yang cukup efektif untuk menyalurkan tuntutan politik, selain itu adalah partai politik, kemudian adalah badan legislatif, kabinet, dan birokrasi, dengan menjadi bagian di dalamnya, aktifitas melobi untuk mencapai tuntutan kelompok kepentingannya akan dapat dilakukan.[4]
Peran dan saluran-saluran yang digunakan kelompok kepentingan ini berbeda di setiap negara, mereka melakukan peranannya sesuai dengan tujuan yang mereka ingin capai, demikian pula dengan saluran-saluran yang mereka gunakan. Satu saluran yang dianggap efektif bagi satu kelompok kepentingan belum tentu efektif bagi yang lain, termasuk di Australia. Lalu kemudian bagaimana peranan dan fungsi kelompok kepentingan di Australia, serta lebih mendalam pembahasan akan difokuskan pada serikat buruh, ACTU ( Australian Council of Trade Unions) juga efektifitasnya dalam menyuarakan dan memperjuangkan kepentingannya akan dibahas di dalam essay ini.

Kelompok Kepentingan di Australia: Peran dan Fungsi
            Dalam sistem politik Australia terdapat banyak kelompok kepentingan, jumlah organisasinya lebih banyak dibanding partai politik, demikian pula dengan jumlah anggotanya. Satu orang di Australia dapat tergabung di lebih dari satu kelompok kepentingan. Mereka berada dalam berbagai tingkatan sosial ekonomi masyarakat, dalam berbagai spektrum warna kehidupan masyarakat Australia.
            Kelompok kepentingan di Australia dapat dibedakan dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok yang bersifat sectional. Kelompok ini mewakili salah satu golongan dan atau kepentingan – kepentingan tertentu dalam masyarakat. Kelompok kedua adalah kelompok yang sifatnya promosional. Kelompok ini tidak mewakilli salah satu golongan, namun terbentuk hanya untuk memajukan dan memperjuangkan satu isu tertentu. Kelompok ini tidak dibatasi oleh kepentingan tertentu dan anggota-anggotanya melandasi organisasinya dengan adanya kepercayaan mengenai tujuan khusus.[5]
            kelompok kepentingan di Australia melakukan perannya sebagai alat untuk memajukan kepentingan-kepentingan kelompok yang diwakilinya, oleh sebab itu pula mereka selalu melibatkan diri ke dalam politik dengan tujuan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diputuskan pemerintah. Sejak seluruh proses pembuatan kebijakan publik dipindahkan menjadi satu di Canberra pada akhir 1950-an, berbagai kelompok kepentingan dipandang sebagai organisasi yang mampu dijadikan sebagai penasihat dan pemberi masukan bagi perencanaan kebijakan pemerintah.   


[1] Lihat, Gabriel A. Almond, “Studi Perbandingan Sistem Politik”, dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, ed., Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hal 29-31. 
[2] Lihat, Gabriel A. Almond, “Kelompok Kepentingan”, Ibid, hal 53, lihat juga www.poppysw.staff.ugm.ac.id/file/01-Struktur%2520Pemerintahan.pdf+kelompok+kepentingan&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id
[3] Ibid, hal 54-56
[4] Ibid, hal 57-59
[5] Lihat, Zulkifli Hamid, Sistem politik Australia, ( Bandung: Laboratorium Ilmu politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Penerbit Remaja Rosdakarya, 1999), hal  299