Sabtu, 20 Maret 2010

Hubungan Pertahanan Keamanan Indonesia-Australia: Traktat Lombok

Australian security policy should be as much concerned with seeking to influence the shape of that regional security environment as with seeking a commitment by a friendly power to defend the Australian continent from attack. Australia has long tradition of seeing its own security as inseparable from the security of its own surrounding region[1].

Kebijakan Pertahanan Australia
Menurut Buzan, negara berdaulat memiliki tiga komponen utama: ide, basis fisik, serta institusi-institusinya. Biasanya, yang mengancam basis fisik sebuah negara adalah kekuatan militer, ekonomi, dan lingkungan[2]. Sebagai upaya untuk mencegah ancaman[3] yang datang ke Australia, maka Australia perlu membangun hubungan strategis dengan negara kawasan agar keamanannya terjamin, salah satunya dengan Indonesia.

Most important strategic interest is the security, stability and cohesion of our immediate neighbourhood; Indonesia, Papua New Guinea, East Timor, New Zealand and the South Pacific island states.
A stable and cohesive Southeast Asia will mitigate any such threat and is in our strategic interests. More broadly, we have a deep stake in the maintenance of an Asia-Pacific regional security environment that is conducive to the peaceful resolution of problems between regional countries and can absorb the rise in strategic and military power of emerging major players.
[4]

Kebijakan pertahanan Australia saat ini yang berkonsep regional defense, merupakan manifestasi dari konsep forward defense, dimana musuh atau sumber ancaman dapat dihancurkan sebelum mencapai daratan Australia. Konsep keamanan regional merupakan perkembangan dari konsep cooperative security. Dalam implementasinya, konsep ini tidak diterapkan secara identik di semua kawasan karena penggunaannya disesuaikan dengan keadaan kawasan tersebut. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap definisi cooperative security itu sendiri.
Nolan mendefinisikan cooperative security sebagai sebuah konsep yang dibentuk untuk situasi setelah Perang Dingin dimana strategi keamanan tradisional yang didasarkan pada konfrontasi militer dan deterrence tidak lagi relevan. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa cooperative security dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya peperangan. Konsep ini menggantikan tindakan persiapan untuk melawan ancaman dengan tindakan pencegahan terhadap suatu ancaman. Nolan menekankan pada aspek militer dari cooperative security terutama pencegahan konflik dan pengawasan persenjataan.
Sedangkan Paul B. Stares dan John D. Steinbruner mendefinisikan cooperative security sebagai cara untuk meminimalisir ketidakpastian tentang keamanan nasional yang dialami oleh negara. Hal itu dilakukan melalui aturan – aturan bersama mengenai kapabilitas militer dan praktik operasional militer yang seringkali menimbulkan ketidaktenangan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ini merupakan pendekatan preventif untuk mengatasi situasi internasional yang insecure dimana kondisi ini dipengarui oleh kemampuan offensif milter. Tujuan dari rezim cooperative security adalah untuk mengurangi kemungkinan konflik antar negara.
Menurut M. Griffits dan T. O. Callaghan, regionalisme adalah hubungan politik yang intensif dan/atau hubungan kerjasama ekonomi antar negara atau aktor lain dalam satu kawasan geografis tertentu. Sedangkan menurut Benjamin Cohen, regionalisme tidak harus berdasarkan kedekatan wilayah, namun dapat lebih pada keuntungan, baik ekonomi maupun politik[5]. Dalam hal keamanan regional, berarti negara – negara satu kawasan akan menjalin kerjasama terkait keamanan dan kepentingan nasionalnya.

The capability of Australia’s armed forces should be seen as having relevance not only for the defence of Australia, but for the region as a whole. Australia’s possession of significant military power contributes to the strategic stability of our neighbouring regions, providing a ‘secure south’ for South East Asian countries and a ‘secure west’ for South Pacific Nations.[6]
Australia membangun kerjasama keamanan yang memberikan keuntungan – keuntungan baginya untuk mencegah berbagai ancaman yang mengganggu keamanan nasionalnya. Konsep keamanan nasional itu sendiri adalah, dalam istilah tradisional/konvensional, kondisi ketika negara terbebas dari ancaman, atau kemampuan negara untuk melindungi kedauatannya dari ancaman yang berasal dari luar batas teritorialnya. Dalam perkembangannya kemudian, konsep keamanan nasional tidak hanya terfokus pada ancaman dari militer saja, namun juga dari ancaman kontemporer lainnya.
Pembentukan sistem keamanan nasional suatu negara tidak dapat terlepas dari identitas yang dibangun negara tersebut dan bagaimana persepsi aktor-aktor keamanan dalam mewacanakan dan mendefinisikan keamanan nasional.
Menurut kelompok konstruktivis, sebelum kelompok menentukan kepentingannya, kelompok membangun identitas mereka terlebih dahulu. Pengertian identitas sendiri menurut Alexander Wendt adalah relatively stable role –specific understandings and expectation about self. Identitas adalah suatu pemahaman yang datang dari pembelajaran dan ekspektasi tentang peran apa yang diambil yang relatif stabil, karena begitu pemahaman itu berubah maka ekspektasi turut berubah[7]. Images of individuality and distinctiveness held and projected by an actor and formed and modified over time through relations with significant others. Pencitraan tentang individualitas atau kesayaan yang berbeda yang dimiliki dan disebarkan oleh individu atau kelompok itu, yang selalu dibentuk dan dimodifikasi sepanjang waktu melalui hubungan dengan orang-orang yang penting dan memiliki pengaruh terhadap pembentukan identitas.
Identitas yang dibangun menentukan kepentingan nasional[8] yang akan dicapai dan mampu mengkonsepsikan mengenai pembangunan sistem keamanan nasional.
Sebagai contoh adalah Australia. Dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009, negara ini berpendapat bahwa kebijakan pertahanannya selama ini tetap self reliance[9] seperti yang telah ditetapkan sebelumnya, dan tidak berubah menjadi forward defense, meskipun dalam prakteknya kebijakan pertahanan Australia lebih condong untuk dikatakan ke forward defense.
The Government has decided that Australia's defence policy should continue to be founded on the principle of self-reliance in the direct defence of Australia and in relation to our unique strategic interests.[10]
Dengan demikian, pembangunan kerjasama maupun aliansi baik dengan negara – negara satu kawasan maupun dengan Amerika, dan bergabung dalam misi – misi Amerika Serikat, merupakan upaya untuk memperkuat pertahanan dengan tetap berkiblat pada konsep self reliance dan mengeluarkan pertahanan yang dimiliki apabila dibutuhkan.
with a capacity to do more when required, consistent with those strategic interests that we might share with others, and within the limits of our resources.[11]
Prinsip keamanan nasional Australia yang demikian merupakan sebuah perwujudan konsep keamanan secara menyeluruh, yang menempatkan keamanan sebagai konsep multidimensional yang memiliki empat dimensi yang salah satunya adalah pertahanan negara. Selain tiga dimensi lainnya yaitu dimensi ketertiban publik, dimensi stabilitas dalam negeri, dan dimensi keamanan manusia.
Berdasarkan pada keempat dimensi tersebut, keamanan nasional dapat didefinisdikan sebagai upaya negara yang bertujuan untuk menciptakan kondisi aman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mampu menjaga tujuan dan kepentingan nasional dari segala bentuk gangguan dan ancaman.[12]

Traktat Lombok Bagi Australia
“Australia and Indonesia have a confident and maturing defence relationship, based on a foundation of mutual respect and trust, which we would like to deepen and expand on matters affecting our common security interests such as terrorism, regional security and piracy[13].”

Sebagai dua negara yang berbatasan secara langsung, Indonesia - Australia memiliki sejarah hubungan luar negeri yang pasang surut. Beberapa isu - isu sensitif bagi kedua pemerintah sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia-Australia selama ini. Intervensi dalam persoalan politik Timor Timur Pra dan Pasca Kemerdekaan, ‘dukungan’ terhadap gerakan politik di Papua, penangkapan terhadap nelayan Indonesia, hingga kecaman terhadap ketidakmampuan mengatasi kasus bom Bali yang menelan korban warga Australia, adalah sejumlah contoh kasus yang mewarnai ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan Indonesia-Australia selama ini. Traktat Lombok sebagai jalan keluar atas ‘ketegangan-ketegangan dan letupan-letupan’ yang selama ini mewarnai hubungan Indonesia-Australia.
We agreed that the Chief of the Defence Force and his Indonesian counterpart will pursue the development of Joint Understandings on the Australian-Indonesian Defence relationship to further defence cooperation. The Joint Understandings will outline our mutual priorities for future defence engagement, including military training and postgraduate education, study visits and exchanges, combined exercises and maritime surveillance and patrol.[14]
Traktat Lombok adalah adalah dokumen kesepakatan antara Republik Indonesia dan Australia tentang kerjasama keamanan yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Australia di Lombok pada 3 November 2006. Traktat ini mengatur kerjasama dalam sepuluh bidang, yaitu: kerjasama bidang pertahanan, penegakan hukum, anti-terorisme; kerjasama intelijen, keamanan maritim, keselamatan dan keamanan penerbangan, pencegahan perluasan (non-proliferasi) senjata pemusnah massal, kerjasama tanggap darurat, organisasi multilateral, dan peningkatan saling pengertian dan saling kontak antar masyarakat dan antar perseorangan.
Dalam kerja sama pertahanan yang telah diratifikasi pertengahan Juli 2007 tersebut, lebih memfokuskan pada bidang pendidikan, tukar menukar siswa dan officer, pelatihan serta kerja sama penjaga keamanan seperti yang telah dilakukan Indonesia bersama Singapura dan Malaysia[15].
Explored mutually beneficial opportunities for defence industry cooperation and ways to support capacity building and management through, for example, joint science and technology projects.
Continue to support peacekeeping initiatives through our respective military peacekeeping centres, and humanitarian aid and disaster management cooperation.
[16]
Kedua belah pihak sesuai Piagam PBB diharuskan (1) saling menguntungkan dan mengakui kepentingan masing-masing dalam stabilitas, keamanan dan kemajuan; (2) saling menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan bangsa, dan kemerdekaan politik setiap pihak, serta tidak campur tangan urusan dalam negeri masing-masing; (3) tidak mendukung atau turut serta dalam kegiatan-kegiatan yang mengacam stabilitas, kedaulatan atau integritas teritoral pihak lain, termasuk kegiatan separatisme; (4) menyelesaikan setiap perselisihan yang mungkin timbul di antara mereka dengan cara-cara damai sehingga tidak membahayakan perdamaian, keamanan dan keadilan dunia; dan (5) menahan diri untuk melakukan ancaman atau tindakan kekerasan yang menentang integritas teoritorial atau kemerdekaan politik pihak lain[17].
Bagi Australia tentunya kerjasama keamanan Traktak Lombok ini dapat digunakan sebagai upaya untuk mengatasi berbagai ancaman keamanan yang dapat mengganggu teritorialnya. Seperti ancaman terorisme, penyelundupan obat – obatan terlarang, penyelundupan manusia, dan isu keamanan lainnya.
Demikian sesuai dengan konsep keamanan yang dikembangkan oleh Australia, maka selain menjalin aliansi dengan kekuatan besar seperti Amerika, maka perlu dijalin pula kerjasama dengan negara – negara kawasan untuk mencegah datangnya ancaman langsung ke Australia.

Penutup
Pokok – pokok politik luar negeri Australia antara lain adalah regional security, “A secure and stable Southeast Asia is in Australia's strategic interests,” pernyataan tersebut dalam Australia Defence White Paper 2009 menyiratkan bahwa keamanan regional merupakan elemen penting yang mendukung kepentingan nasional dan menjaga keamanan Australia dari ancaman.
Our most basic strategic interest remains the defence of Australia against direct armed attack. This includes armed attacks by other states and by non-state actors with the capacity to employ strategic capabilities, including WMD. This most basic strategic interest abides irrespective of the perceived intentions of others, and is a function of our geography and levels of current and future capability in the region around us. Before we attend to anything else, we must secure this strategic interests… Strategic interests are a narrower set of interests than our national security interests, but basing our defence planning on our strategic interests helps us to secure our national security interests.[18]
Khususnya hubungan dengan Indonesia, Australia memandang Indonesia sebagai negara yang telah sukses membangun kembali demokrasinya, juga ekonominya dan merupakan kepentingan Australia untuk terus membina hubungan baik dengan Indonesia.
Indonesia has made remarkable gains in the past decade. It has managed a successful transition to multiparty democracy, embarked on the long journey of economic reform, and proven to be a strong partner in the fight against terrorism. It is likely that these positive trends will continue, and that Indonesia will continue to evolve as a stable democratic state with improved social cohesion. As the largest country in Southeast Asia, it will continue to play a crucial role in the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), while also seeking other avenues to play a constructive role more broadly in global affairs… The evolution of democracy gives Indonesia a sound foundation for long-term stability and prosperity, and positive relationships with its neighbours. This is in keeping with Australia's strategic interests.[19]
Namun, Traktat Lombok hendaknya tidak menjadi dasar bagi Australia dari sikap acuh dan menutup mata atas persoalan-persoalan serius terkait demokratisasi dan penegakan HAM di Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang concern membangun peradaban baru yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, sebagai wujud being seen as a good international citizen.
Sikap kritis pemerintah Australia tetap diharapkan untuk memperkuat gerakan-gerakan masyarakat sipil Indonesia yang terus menerus berjuang memastikan keberlanjutan agenda reformasi dan demokratisasi di Indonesia.
Hal tersebut di atas mengingat pasal 2, ayat 3 Traktat Lombok yang menyatakan “Para Pihak, sejalan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional mereka, tidak akan dalam bentuk apapun, mendukung atau turut serta dalam kegiatan-kegiatan oleh setiap orang atau lembaga yang merupakan ancaman terhadap stabilitas, kedaulatan atau intergitas teritorial Pihak lain, termasuk oleh mereka yang berupaya untuk menggunakan wilayahnya untuk mendorong atau melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, termasuk separatisme, di wilayah Pihak lainnya.”[20]
Pasal ini dapat membuat Australia lebih menahan diri dalam mengkritisi kebijakan – kebijakan Indonesia yang mungkin dapat mengancam penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia, memang itu baik bagi kedaulatan Indonesia, namun tentunya dapat menjadi kontraproduktif terhadap upaya reformasi dan pembangunan demokrasi yang telah dilakukan dengan baik selama ini.
Of particular salience in this regard is the continued stability of Indonesia, one of the most important features of our strategic outlook. It is in Australia's vital strategic interests to see a stable and cohesive Indonesia. The Government's policy remains one of strong commitment to Indonesia's territorial integrity. A weak and fragmented Indonesia would be a strategic liability for our security and would almost certainly require a heightened defence posture on Australia's part.[21]
Melihat perkembangan yang berjalan saat ini, selama reformasi yang bergulir sebelas tahun, memang pergerakan demokrasi di Indonesia telah berjalan baik. Namun bukan tidak mungkin dan tidak tertutup kemungkinan kemunduran terhadap proses demokratisasi dan reformasi politik di Indonesia akan terjadi lagi. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya akan sangat merugikan Australia apabila hal itu terjadi, karena segala perkembangan politik di Indonesia tentunya sedikit banyak berkaitan dengan kepentingan strategis Australia di kawasan Asia Tenggara.



Daftar Pustaka
Art, Robert J. and Robert Jervis. 2007. International Pollitics: Enduring Concepts and Contemporary Issues. New York: Pearson Education, Inc.
Australia Defence White Paper 2009.
Buzan, Barry. 1998. Security A New Framework for Analysis. Colorado: Lynne Rienner Publishers.
Chan, Stephen and Cerwyn Moore (Ed.). 2006. Theories of International Relations, Volume IV. London: SAGE Publications.
Fitzgibbon, Joel Australia Minister for Defence, dalam
http://www.defence.gov.au/minister/Fitzgibbontpl.cfm?CurrentId=7529 diakses 14 Mei 2009
Lombok Treaty Merupakan Kerangka Kerja Sama RI - Australia
http://www.dmcindonesia.web.id/modules.php?name=News&file=article&sid=399 diakses 14 Mei 2009.
Muhaimin, Yahya A. 2008 Bambu Runcing & Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertahanan Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Prihatono, T Hari, dkk. 2007. Keamanan Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif Versus Pembiaran Politik dan Kebijakan. Jakarta: Propatria Institute.
Traktat Lombok, Perjanjian Pertahanan dan Keamanan Indonesia – Australia, 2006, dalam
http://www.dfat.gov.au/GEO/indonesia/ind-aus-sec06.html diakses 14 Mei 2009


[1] Kuliah Kepentingan Keamanan Global dan Regional, oleh Drs. Dafri Agussalim, MA, Politik Luar Negeri Australia, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 11 Maret 2009.
[2] Barry Buzan, Security A New Framework for Analysis (Colorado: Lynne Rienner Publishers, 1998)
[3] Ancaman menurut Prof. DR. Yahya Muhaimin dibagi menjadi empat kategori. Pertama, kategori A, ancaman yang paling berat dan paling membahayakan yaitu ancaman terhadap kelangsungan hidup serta keutuhan dan kedaulatan negara bangsa. Kedua, kategori B, tindakan yang mengancam kepentingan nasional, namun tidak secara langsung mengancam keutuhan maupun kedaulatan bangsa dan negara. Ketiga, kategori C, tindakan yang mengganggu ketertiban umum, namun tidak secara langsung mengancam kepentingan nasional maupun keutuhan atau kedaulatan bangsa dan negara. Keempat, kategori D, berupa situasi atau tindakan sistemik yang secara konseptual dan teoritis sebenarnya bukan merupakan bentuk ancaman terhadap kepentingan nasional maupun keutuhan bangsa dan negara, namun dalam jangka panjang situasi atau tindakan tersebut, melalui suatu proses atau mekanisme sosial-politik tertentu, akan menjadi ancaman tidak langsung terhadap kepentingan nasional dan bahkan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Lihat, Yahya A. Muhaimin, Bambu Runcing & Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertahanan Indonesia, ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008 ), hal 24 - 29.
[4] Australia Defence White Paper 2009, hal 12
[5] Disampaikan oleh DR. Siti Mutiah Setiawati, MA, dalam mata kuliah Studi Kawasan, Jurusan Hubungan Internasional, FISIPOL UGM, Yogyakarta, pada 23 April 2008.
[6] Opcit,.
[7] Alexander Wendt, Constructing International Politics, dalam Stphen Chan and Cerwyn Moore (ed.), Theories of International Relations, Volume IV, (London: SAGE Publications, 2006), hal 201.
[8] Alexander Wendt, Anarchy Is What State Make of It, dalam Robert J. Art & Robert Jervis, International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues (New York: Pearson Education, 2007), hal 61.
[9] …is genuinely defensive: we harbour no aggressive intentions towards any other nation. Our military capability, while substantial in regional terms, is not based on the need for comprehensive power projection within our region, but rather on what is required to defeat aggression against our territory or maritime jurisdiction, Ministerial Statement of Regional Security para 59, dalam Kepentingan Keamanan Global dan Regional, oleh Drs. Dafri Agussalim, MA, Politik Luar Negeri Australia, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 11 Maret 2009
[10] Opcit, Australia Defence…
[11] Ibid.
[12] T. Hari Prihartono dkk, Keamanan Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif Versus Pembiaran Pollitik dan Kebijakan, (Jakarta: Propatria Institute, 2007), hal 2-5.
[13] Joel Fitzgibbon, Australia Minister for Defence, dalam http://www.defence.gov.au/minister/Fitzgibbontpl.cfm?CurrentId=7529 diakses 14 Mei 2009
[14] Ibid.
[15]Lihat, Lombok Treaty Merupakan Kerangka Kerja Sama RI - Australia http://www.dmcindonesia.web.id/modules.php?name=News&file=article&sid=399 diakses 14 Mei 2009.
[16] Opcit, Joel Fitzgibbon…
[17]Mutual respect and support for the sovereignty, territorial integrity, national unity and political independence of each other, and also non-interference in the internal affairs of one another; Pasal 2, ayat 2, Traktat Lombok, Perjanjian Pertahanan dan Keamanan Indonesia – Australia, 2006, dalam http://www.dfat.gov.au/GEO/indonesia/ind-aus-sec06.html diakses 14 Mei 2009
[18] Opcit, Autralia Defence…hal 41
[19] Ibid, hal 35
[20] The Parties, consistent with their respective domestic laws and international obligations, shall not in any manner support or participate in activities by any person or entity which constitutes a threat to the stability, sovereignty or territorial integrity of the other Party, including by those who seek to use its territory for encouraging or committing such activities, including separatism, in the territory of the other Party; Pasal 2 Ayat 3, Traktat Lombok, Perjanjian Pertahanan dan Keamanan Indonesia – Australia, 2006, dalam http://www.dfat.gov.au/GEO/indonesia/ind-aus-sec06.html diakses 14 Mei 2009
[21] Opcit, Autralia Defence…hal 42

Prinsip Non-Intervensi dan Prospek Asean di Masa Globalisasi

PRINSIP NON INTERVENSI DAN PROSPEK ASEAN
ASEAN
Secara geopolitik dan ekonomi negara di kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang strategis. Sehingga sering terjadi konflik di kawasan itu untuk memperebutkan kepentingan sejak Perang Dunia kedua. Sebelum ASEAN berdiri, orientasi politik luar negeri negara-negara Asia Tenggara secara ideologi terpecah yaitu komunis dan non komunis. Belum ada rasa keterikatan dalam kawasan itu sehingga masih kuatnya kecenderungan untuk menjalin persekutuan dengan kekuatan asing diluar kawasan. Berkembang suasana konfrontatif dan saling curiga, seperti pernah terjadi dengan Indonesia dan Malaysia, konflik Indonesia - Singapura.[1]
ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara pemrakarsa, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand di Bangkok melalui Deklarasi Bangkok. Awal pembentukannya adalah untuk membendung masuknya komunis lebih jauh ke Asia Tenggara setelah komunis berada di Vietnam. Terbentuknya ASEAN menandai dimulainya rekonsiliasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, konflik – konflik yang terjadi antara Indonesia – Malaysia, Malaysia – Filipina, juga kedekatan Thailand dan Filipina dengan Amerika Serikat dalam perang Vietnam.
Sebagai salah satu bentuk regionalisme, selama ini ASEAN dianggap sebagai salah satu instrumen yang mampu menjaga kestabilan kawasan di Asia Tenggara[2]. Perkembangan ASEAN, yang berpadu dengan kultur politik di kawasan ini, membuat sebuah bentuk baru pendekatan untuk menyelesaikan masalah-masalah transboundary antar anggotanya. ASEAN Way disebut-sebut sebagai bentuk dari upaya negara-negara anggota untuk aktif menyelesaikan persengketaan yang ada tanpa harus melanggar kedaulatan satu sama lain.[3]
Terbentuk dari sebuah deklarasi, awalnya ASEAN adalah organisasi regional yang berusaha berintegrasi dalam sebuah institusi yang berdasarkan pada kerjasama fungsional[4]. Sehingga, ASEAN merupakan organisasi regional non-politik yang secara efektif berfungsi dalam sektor-sektor ekonomi, teknik, keilmuan, sosial dan kebudayaan. Ide utamanya adalah bagaimana membuat suatu institusi regional tanpa mengancam kedaulatan nasional negara anggotanya namun tetap menguntungkan. Mengingat ketika ASEAN terbentuk, mayoritas dari anggotanya adalah negara-negara yang belum lama memperoleh kemerdekaan.
Salah satu alasan yang mendasari pembentukan ASEAN adalah untuk mencegah penyebaran komunisme di kawasan Asia Tenggara. Tanpa membuat suatu organisasi berbentuk pakta militer, founding fathers ASEAN berusaha menciptakan stabilitas keamanan melalui kerjasama non-politik. Tujuan ini diperkuat dengan adanya deklarasi yang dikemukakan di konferensi Bali tahun 1976 yang menyatakan Asia Tenggara sebagai “zone of peace, freedom, and neutrality”. Prinsip-prinsip ini merupakan respon terhadap “ancaman komunisme” yang bisa saja menimbulkan efek domino. kawasan Asia Tenggara perlu diamankan dari kemungkinan instabilitas akibat dari perang dingin yang terjadi. Selain itu, negara-negara barat juga menjadi kalangan yang terancam apabila kawasan Asia tenggara jatuh dalam pengaruh komunis.
Berakhirnya Perang Dingin, tidak membuat integritas regionalisme di ASEAN memudar karena tidak adanya common enemy yang ternyata berhasil memberikan identitas. Hubungan kerjasama antar-anggota menjadi semakin erat dan menjadikan ASEAN sebagai lembaga yang institutionalized.[5] Namun, dengan semakin kompleksnya masalah yang ada di dunia internasional[6], isu-isu yang sebelumnya bukan masalah penting menjadi sesuatu hal yang patut dipertimbangkan oleh para pemimpin negara anggota ASEAN. Mulai dari masalah yang sifatnya sektoral seperti masalah ekonomi[7] hingga berbagai masalah sosial budaya. Selain itu juga terdapat masalah mengenai keamanan kawasan.[8]
Masalah yang dihadapi ASEAN menjadi semakin rumit dengan tidak adanya mekanisme binding yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang diambil oleh para pemimpin negara. Ketika muncul konflik diantara negara anggota, mekanisme penyelesaian yang berlaku adalah konsensus.[9] Keinginan ASEAN untuk seminimal mungkin melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri, membuat mekanisme konsensus dan musyawarah menjadi pola dalam pengambilan keputusan berskala regional. Pola ini kemudian disebut-sebut sebagai The ASEAN Way.[10]
Tidak adanya mekanisme mengikat esensi dan common value berkurang. Padahal common value merupakan faktor penting untuk membentuk dan mempertahankan identitas regional, serta menjamin negara-negara agar tidak hanya mengutamakan kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan seluruh kawasan. Oleh karena itu, regionalisme akan menghadapi berbagai tantangan dalam menyelesaikan suatu masalah jika common value-nya tidak kuat. Organisasi yang berdiri dari deklarasi terancam masalah legitimasinya sebagai institusi karena tidak ada suatu mekanisme mengikat terhadap perilaku negara-negara anggota.


PRINSIP NON INTERVENSI
Prinsip non intervensi[11] selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan regionalnya, di samping prinsip-prinsip lain seperti saling menghormati, konsensus, dialog dan konsultasi. Prinsip non-intervensi yang selama ini dijunjung tinggi telah banyak memberi kontribusi terhadap eksistensi ASEAN. Pada tingkat yang paling dasar, prinsip ini merupakan wujud nyata penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggota. Hal ini amat penting, mengingat sejarah menjelang pembentukan ASEAN yang diwarnai sejumlah konflik antarnegara bakal calon anggota ketika itu seperti disebutkan di atas.
Jaminan pengakuan kedaulatan ini menjadi faktor penting terhadap meredamnya sikap saling curiga sesama negara anggota. Hilangnya sisa-sisa kecurigaan ini selanjutnya membantu tumbuhnya saling percaya yang cukup tinggi antara anggota ASEAN. Hal ini penting, sebab rasa percaya timbal balik menjadi prasyarat eksisnya suatu organisasi regional beranggotakan negara dengan perbedaan kepentingan yang tak terelakkan.
Prinsip ini juga telah berfungsi sebagai mekanisme preventif terhadap munculnya sejumlah konflik terbuka di antara negara anggota ASEAN. Penghormatan terhadap apa yang dianggap menjadi urusan dalam negeri negara anggota lain secara tidak langsung ikut mencegah terjadinya salah persepsi antaranggota. Prinsip non intervensi ini telah memberikan sumbangan yang teramat berarti dalam pengembangan ASEAN sejak berdirinya hingga saat ini.
Seiring dengan perkembangan konstelasi politik global, nampaknya prinsip ini mulai harus ditinggalkan oleh ASEAN. Karena dalam ASEAN Charter disebutkan bahwa tujuan ASEAN ke depan adalah “maintain and enhance peace, security and stability and further strengthen peace-oriented values in the region,” serta to enhance regional resilience by promoting greater political, security, economic and socio-cultural cooperation[12].” Pernyataan ini menunjukkan bahwa ASEAN kedepan merupakan suatu entitas yang satu, ini diperkuat dengan jargon ASEAN, One Vision, One Identity, One Community[13] .
Namun dalam kenyataannya nampaknya prinsip ini belum mau ditinggalkan oleh ASEAN, terlihat dari Pasal 2 ASEAN Charter, yaitu menghormati kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, identitas nasional[14]; tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN[15]; menghargai hak anggota untuk mempertahankan integritas nasional yang bebas dari pengaruh asing serta subversi dan koersi[16]; tidak mencampuri dalam kegiatan yang akan berdampak pada kedaulatan dan integritas teritorial negara anggota lainnya, termasuk tidak menggunakan daerahnya untuk kegiatan tersebut[17]; penghargaan terhadap kebebasan fundamental serta promosi dan perlindungan HAM serta keadilan sosial[18].
Dalam berbagai peraturan yang disebut di atas nampak bahwa ASEAN belum akan meninggalkan prinsip non intervensi sebagai prinsip dasarnya. Oleh karena itu, ASEAN tidak dapat mengintervensi pelanggaran-pelanggaran, misalnya pelanggaran HAM, yang terjadi dalam negara anggota ASEAN. Sebagai contoh kasus, prinsip ini akan membuat Badan HAM ASEAN yang dibentuk berdasarkan ASEAN Charter pasal 14[19] tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Karena seharusnya Badan HAM ASEAN mampu bertindak untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi dengan masuk ke negara yang melanggar HAM tersebut dan mengintervensi tindakan yang dilakukan. Sehingga Badan Ham ASEAN ini hanya dapat bertindak dalam lingkup pertemuan menteri luar negeri ASEAN seperti disebut pasal 14 ayat 2[20].
Keinginan ASEAN untuk menjadi One Community nampaknya akan terhambat karena prinsip ini. Berdasarkan pada konsep integrasi yang diutarakan di atas, kalau ingin mengintegrasikan diri menjadi sesuatu yang lebih besar berarti harus memindahkan kesetiaan yang ada, atau paling tidak mengurangi kedaulatan negara dan memindahkannya ke cakupan yang lebih luas, dalam konteks ini berarti negara-negara anggota ASEAN memindahkan atau mengurangi sedikit kedaulatannya untuk membangun suatu integrasi ASEAN yang lebih bersatu, sehingga One Vision, One Identity, One Community dapat terwujud.

PROSPEK ASEAN
Melihat penerapan prinsip non intervensi selama lebih dari empat dasawarsa yang tetap membuat ASEAN bersatu, nampaknya prospek ASEAN di masa yang akan datang masih akan tetap baik. Hal ini ditambah dengan dibuatnya Piagam ASEAN yang membuat keanggotaan negara-negara anggota semakin terikat. Dalam Piagam ini pun prinsip non intervensi masih amat ditekankan. Prinsip ini memang terbukti ampuh untuk menjaga keutuhan ASEAN. Namun, Tanpa berniat mengurangi kontribusi penting itu, haruslah diakui bahwa memasuki dasawarsa keempat usianya, situasi yang dihadapi ASEAN telah berubah; beragam masalah pun telah timbul. Tak dapat dipungkiri, seiring dengan bertambahnya usia itu, bertambah dan beragam pula persoalan yang dihadapi. Apalagi kini anggotanya sudah bertambah menjadi sepuluh dari awalnya hanya lima.
Akibat dari akumulasi jumlah dan keberagaman masalah yang dihadapi ASEAN, prinsip non intervensi yang selama ini dianggap penting, justru kerap dianggap menjadi hambatan terhadap persoalan-persoalan yang senyatanya memerlukan intervensi dari sesama anggota. Selama ini, dalam konteks hubungan antarnegara anggota ASEAN, jika permasalahan yang terjadi sudah mulai berkaitan dengan masalah dalam negeri, hal itu akan menjadi semacam hal yang tabu bagi negara tetangga lainnya untuk ikut membicarakan solusi pemecahannya dan bahkan ikut terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut.
Adanya tuntutan terhadap ASEAN agar segera mengevaluasi pelaksanaan prinsip non intervensi sudah mulai dihembuskan awal 1990-an. Argumennya, selain karena ASEAN telah berhasil melewati tahap konsolidasi organisasi dan pemantapan kerangka kerja sama organisasi, saatnya telah tiba untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip makro pada langkah-langkah mikro yang lebih bersifat konkret.
Di sinilah muncul tantangan, sebab kebijakan mikro memang acapkali membutuhkan langkah-langkah kompromi terhadap sejumlah prinsip besar, semisal prinsip non intervensi. Apa yang ditunjukkan ASEAN semenjak pertengahan tahun 1990-an ialah keraguan pada sejumlah negara anggota untuk melakukan langkah kompromi terhadap prinsip non intervensi yang telah dianggap berhasil mendukung eksisnya ASEAN.
Akibatnya, terdapat semacam dualisme antara tuntutan mengatasi sejumlah persoalan bersama yang sedang dihadapi di satu pihak dengan kekhawatiran terhadap lunturnya kerja sama ASEAN jika prinsip non intervensi ini ditinggalkan di pihak yang lain.
Soalnya kemudian ialah jika dualisme itu terus berlangsung, maka impian ASEAN untuk mewujudkan gagasan-gagasan besarnya melalui aksi-aksi konkret yang secara nyata menguntungkan negara-negara anggota akan justru semakin sulit terwujud. Padahal, ukuran keberhasilan suatu organisasi semakin tinggi dilihat dari aksi-aksi nyata. Dalam tataran pemikiran demikian, kukuhnya ASEAN memegang prinsip non intervensi justru dapat dilihat sebagai hambatan terhadap kerja sama ASEAN.

[1] Lihat, Timo Kivimäki, The Long Peace of ASEAN, Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 1 (Jan., 2001), hal 8-11. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008.
[2] Lihat, Michael Antolik, Reviewed work(s): ASEAN and the Diplomacy of Accommodation. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 67, No. 3 (Jul., 1991), hal 628. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008.
[3] Lihat, Michael Leifer, The Asean States: No Common Outlook, dalam International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 49, No. 4 (Oct., 1973), hal 607. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008. Penyelesaian konflik di ASEAN hanya dilakukan melalui saran-saran kepada negara yang berkonflik; lihat juga David B. H. Denoon and Evelyn Colbert, Challenges for the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), dalam Pacific Affairs, Vol. 71, No. 4 (Winter, 1998-1999) hal. 506. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008.
[4] http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/asean-charter/ - _ftn1 diakses 1 Mei 2008
[5] Lihat, Russell H. Fifield, ASEAN: Image and Reality, dalam Asian Survey, Vol. 19, No. 12, Recent International Developments in Asia (Dec., 1979), hal 1206. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008; lihat juga, Zakaria Haji Ahmad and Baladas Ghoshal, The Political Future of ASEAN after the Asian Crisis, International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 75, No. 4 (Oct., 1999), hal 759. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008.
[6] Lihat, John Garofano, Power, Institutions, and the ASEAN Regional Forum: A Security Community for Asia?, dalam Asian Survey, Vol. 42, No. 3 (May - Jun., 2002), hal 503. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008.
[7] Opcit,. David B. H. Denoon and Evelyn Colbert, hal 507
[8] Lihat, Shaun Narine, ASEAN and the ARF: The Limits of the "ASEAN Way", dalam Asian Survey, Vol. 37, No. 10 (Oct., 1997), pp. 961-978. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008.
[9] Opcit, hal 506
[10] Lihat, Hiro Katsumata, Why Is Asean Diplomacy Changing? From "Non-Interference" to "Open and Frank Discussions", Asian Survey, Vol. 44, No. 2 (Mar. - Apr., 2004), hal 237. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
[11] Ibid,.
[12]http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/asean-charter/ - _ftn3 diakses 1 Mei 2008
[13] Ibid.
[14] Pasal 2 ayat 2 butir a, lihat, The ASEAN Charter. Available at: http://www.aseansec.org/ASEAN-Charter.pdf. diakses 1 Mei 2008
[15]Pasal 2 ayat 2 butir e, lihat, Ibid.
[16] Pasal 2 ayat 2 butir f, lihat, Ibid.
[17] Pasal 2 ayat 2 butir k, lihat, Ibid.
[18] Pasal 2 ayat 2 butir I, lihat, Ibid.
[19] Pasal 14 ayat 1: in conformity with the purpose and principles of the ASEAN Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms, ASEAN shall establish an ASEAN human rights body. Lihat, Ibid. Pembentukan Badan HAM ASEAN dibuat sesuai dengan penjabaran pasal 2 ayat 2 butir i.
[20] Pasal 14 ayat 2: This ASEAN Human Rights Body shall operate in accordance with the terms of reference to be determined by the ASEAN Foreign Ministers Meeting, lihat, Ibid.
[1] Lihat, A Agus Sriyono, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Zaman yang Berubah, dalam Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004 ), hal 13-14
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Association_of_Southeast_Asian_Nations
[3] http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/teori-regionalisme/ - _ftn3 diakses 1 Mei 2008
[4] http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/teori-regionalisme/ - _ftn4 diakses 1 Mei 2008
[5]http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/teori-regionalisme/ - _ftn6 diakses 1 Mei 2008; lihat juga, Leszek Buszynski, ASEAN's New Challenges, dalam Pacific Affairs, Vol. 70, No. 4 (Winter, 1997-1998), hal 555, diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008. Dalam tulisannya tersebut Buszynski menjelaskan tentang prinsip-prinsip pada new regionalism yaitu melihat keluar, tidak eksklusif dan fungsinya yang multidimensi. Berbeda dengan old regionalism yang hanya melihat ke dalam, inklusif, dan terfokus pada fungsi tertentu.
[6]http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/asean-charter/ - _ftn3
[7] Michael Hass, lihat, Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, ( Jakarta: LP3ES), hal 176
[8] Ernst Hass, lihat, Ibid, hal 179.
[9]Lynn H Miller, Agenda Politik Internasional,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal 50
[10]Ibid, hal 85
[11] Ibid, hal 51
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zakaria Haji and Baladas Ghoshal, The Political Future of ASEAN after the Asian Crisis, International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 75, No. 4 (Oct., 1999), pp. 759-778.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Antolik, Michael, Reviewed work(s): ASEAN and the Diplomacy of Accommodation. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 67, No. 3 (Jul., 1991), pp. 628-628.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Buszynski, Leszek, ASEAN's New Challenges, Pacific Affairs, Vol. 70, No. 4 (Winter, 1997-1998), pp. 555-577.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Denoon, David B. H.and Evelyn Colbert, Challenges for the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Pacific Affairs, Vol. 71, No. 4 (Winter, 1998-1999), pp. 505-523.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Fifield, Russell H. ASEAN: Image and Reality, Asian Survey, Vol. 19, No. 12, Recent International Developments in Asia (Dec., 1979), pp. 1199-1208.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Garofano, John. Power, Institutions, and the ASEAN Regional Forum: A Security Community for Asia?, Asian Survey, Vol. 42, No. 3 (May - Jun., 2002), pp. 502-521.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Hettne,B. The New Regionalism : A Prologue. In Hettne,B. (ed), The New Regionalism and the Future of Security Development, Vol.4.2000. London : Macmillan. http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/teori-regionalisme/ - _ftnref6 diakses 1 Mei 2008
______. and Soderbaun. Theorizing the Rise of Regionnes”. London : Routledge. 2002. p.39.
http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/teori-regionalisme/ - _ftnref4 diakses 1 Mei 2008
Katsumata, Hiro, Why Is Asean Diplomacy Changing? From "Non-Interference" to "Open and Frank Discussions". Asian Survey, Vol. 44, No. 2 (Mar. - Apr., 2004), pp. 237-254.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Kivimäki, Timo, The Long Peace of ASEAN, Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 1 (Jan., 2001), pp. 5-25.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Leifer, Michael, The Asean States: No Common Outlook, International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 49, No. 4 (Oct., 1973), pp. 600-607.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Mas’oed, Mohtar. 1994. Ilmu hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.
Miller, Lynn H. 2006. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Narine, Shaun. ASEAN and the ARF: The Limits of the "ASEAN Way", Asian Survey, Vol. 37, No. 10 (Oct., 1997), pp. 961-978.
http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008
Snyder, Craig A. Contemporary Security and Strategy. Palgrave : Macmillan. 2008.p228. http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/teori-regionalisme/ - _ftnref3 diakses 1 Mei 2008
Sriyono, A Agus dkk. 2004. Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
The ASEAN Charter. Available at:
http://www.aseansec.org/ASEAN-Charter.pdf. diakses 1 Mei 2008Tujuan ASEAN dalam ASEAN CHARTER Bab I, Artikel 1 (1).