Krisis ekonomi mulai menyerang Indonesia pada pertengahan 1997, merupakan peristiwa yang mengejutkan mengingat perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup baik sebelumnya. Krisis ekonomi yang menyerang Indonesia merupakan serentetan krisis ekonomi yang juga menyerang negara asia lainnya, seperti Thailand, Malaysia, juga Korea Selatan.
Berbagai kondisi yang menyebabkan ekonomi menurun, ditambah situasi politik yang tidak stabil kemudian semakin memicu tuntutan mundur terhadap Presiden Soeharto, yang disuarakan baik oleh mahasiswa, aktivis LSM, maupun cendekiawan dan akademisi yang lain.
Presiden Soeharto tidak mampu mempertahankan pemerintahannya dan memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998. Pada tanggal itu pula, Wakil Presiden Burhanuddin Jusuf Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Presiden Soeharto. Perubahan pemerintahan yang terjadi turut mengubah karakter sistem politik Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik.
Perubahan sosial-politik yang terjadi, berdampak besar pada kehidupan politik nasional. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional, termasuk di dalamnya pembinaan ABRI ( TNI dan Polri ) ke arah yang lebih profesional.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie terdapat penurunan keikutsertaan ABRI dalam politik[1]. Hal ini terkait tuntutan – tuntutan agar ABRI menerapkan profesionalisme dengan prinsip conventional professionalism bukan new professionalism seperti saat pemerintahan sebelumnya[2]. Dalam kerangka profesional konvensional, ABRI dituntut semaksimal mungkin melepaskan peranan politiknya.
Sejalan dengan tuntutan tersebut, kemudian pada tanggal 1 April 1999 diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia no. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI untuk secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya dalam rangka reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasinal Kepolisian Negara Republik Indonesia Indonesia pada Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia[3]. Selain itu Pemerintah mengganti penyebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjalan, pembenahan dan pengurangan jabatan politik yang banyak dipegang ABRI berlanjut. Dalam era Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, konsep supremasi sipil[4] betul-betul ditekankan. Kendali sipil atas pemerintahan dikonsolidasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid setelah ia terpilih. Jabatan-jabatan bagi militer dikurangi mulai di tingkat pusat seperti jabatan direktur jenderal, inspektur jenderal, dan jabatan tinggi negara, sampai jabatan di tingkat daerah, seperti gubernur dan bupati. Jabatan Menteri Pertahanan dan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional yang selalu dijabat personil militer, dipercayakan kepada kalangan sipil.
Untuk meningkatkan profesionalisme dan menempatkan pada fungsinya yang tepat, maka kemudian di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, secara tegas dipisahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari struktur kemiliteran Indonesia. Kepala Polri tidak lagi berada di bawah komando maupun bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan, tetapi kepada Presiden.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, Pasal 30 ayat (1) menjelaskan: Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Untuk memperjelas fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia maka di ayat (3) dijelaskan: Tentara Nasional Indonesia terdiri ata Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara; di ayat (4) dijelaskan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Kemudian berdasarkan ketentuan tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 MPR menerbitkan ketetapannya no. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Juga Tap MPR no. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Tap MPR no. VII/MPR/2000 pasal 2 disebutkan pada ayat (1) bahwa Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, terkait dengan peran Polri dijelaskan pada pasal 6 ayat (1) bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan kedua ketetapan MPR tersebut kemudian disusun Undang-Undang no 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang no 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang no 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam struktur baru tersebut, TNI bergerak dan bertanggungjawab di bidang pertahanan negara, sementara Polri berkewenangan dan bertanggungjawab di bidang keamanan[5]. Bidang pertahanan mengemban tugas untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, menjaga keutuhan wilayah negara, dan menjaga keselamatan serta martabat bangsa dan negara. Menurut UU no. 34 tahun 2004 yang dimaksud pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sementara di bidang ketertiban umum, mengemban tugas dalam penegakan hukum, menjaga ketertiban hidup sehari-hari dalam masyarakat, melindungi keselamatan , ketentraman, dan ketertiban hidup anggota masyarakat[6]. Menurut UU no. 2 tahun 2002 Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Sementara keamanan dalam negeri diartikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pemisahan TNI dan Polri tersebut mengandung konsekuensi pada penataan kedua lembaga tersebut sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal ini merupakan bagian dari amanat demokrasi yang memisahkan fungsi keduanya dengan tegas. Kedua lembaga tersebut kemudian dituntut untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Pelembagaan politik dalam konteks demokrasi kemudian diterjemahkan dengan memisahkan secara tegas, dan bentuk-bentuk koordinasi yang secara kelembagaan layak dilakukan. Pemisahan tersebut ternyata menimbulkan implikasi yang tidak cukup baik. Sejak pemisahan, hubungan antara TNI dengan Polri cenderung memburuk, terlihat dengan seringnya terjadi bentrokan antara kelompok TNI dengan kelompok Polri di beberapa tempat di Indonesia.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah mengubah kondisi politik yang ada. Nilai demokrasi yang berkembang turut menjadi faktor yang mengubah pembinaan di bidang pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah supremasi sipil. Kekuasaan sipil adalah yang utama.
Supremasi sipil membuat kekuatan bersenjata sebagai penjaga hukum dan konstitusi, yang berarti mendukung, menjaga, dan mempertahankan militer sebagai institusi pertahanan negara, dan juga menjaga kondisi yang telah terbentuk dengan baik dalam negara[7]. Tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Sementara kepolisian berfungsi di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[8].
Namun yang terjadi kemudian adalah kemunculan konflik yang terus menerus antara kelompok TNI melawan kelompok Polri. Sedikitnya terjadi 32 kali konflik bersenjata di berbagai tempat di Indonesia dalam rentang waktu Februari 2001 sampai Februari 2008.[9]
Argumen utama dari tulisan ini adalah pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik. Terlihat dari sebaran konflik yang hampir diseluruh wilayah Indonesia. Faktor struktur dan kepentingan TNI dan Polri memicu konflik yang terjadi. Penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan dalam negeri ternyata memunculkan persoalan pada tataran peran dan kewenangan antara TNI dan Polri.
Meskipun telah ditegaskan peran dan fungsi masing-masing lewat undang-undang, namun wilayah abu-abu kewenangan TNI dan Polri masih ada, dan hal ini menjadi penyebab ketidakselarasan kinerja TNI dan Polri. Wilayah abu-abu ini adalah untuk menunjuk sejumlah aktivitas yang diklaim militer sebagai operasi militer selain perang.
Dalam UU no. 34 tahun 2004 pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa operasi militer selain perang adalah mengatasi gerakan separatisme bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menaggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Ada persinggungan antara tugas keamanan dan ketertiban dalam negeri yang diemban oleh Polri dengan operasi militer selain perang yang diatur dalam pasal 2 UU no. 34 tahun 2004 tersebut. Sebagai contoh adalah fungsi penegakan hukum di wilayah laut dan udara, masih terdapat ketidakjelasan wewenang antara TNI dan Polri. Dalam UU no. 34 tahun 2004 pasal 9 dan 10 menjelaskan bahwa TNI AL dan TNI AU bertugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut dan udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Sementara itu, tugas penegakan hukum ini juga dimiliki Polri yang memiliki kesatuan polisi air dan udara.
Selain itu, sebagai contoh yang lain, kewenangan yang sama dalam mengamankan obyek vital. Yang berbeda hanyalah landasan hukumnya, jika TNI bertugas mengamankan obyek vital dipayungi pasal 7 ayat (2) UU no. 34 tahun 2004, maka Polri berlandaskan Keppres no. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Persinggungan peran dan fungsi tersebut akhirnya dapat menimbulkan permasalahan, seperti bentrokan antara TNI dengan Polri.
Konflik yang terjadi menunjukkan kelembagaan Polri dan TNI belum disiapkan secara memadai dalam menghadapi pemisahan Polri dari TNI. Hal tersebut menyangkut masalah struktural dan mental anggota TNI dan Polri. Di samping itu , ada pula pihak yang berpendapat bahwa konflik yang terjadi antara TNI – Polri tersebut mungkin juga disebabkan oleh euphoria yang dialami para anggota Polri sesudah sejak tahun 1960, berdasarkan Tap MPRS no II dan III yang menetapkan secara struktural Polri berada di bawah komando TNI.
Faktor kedua yang membuat hubungan kedua institusi ini mengalami ketegangan adalah faktor sejarah. Sejak reformasi, Polri berdiri sejajar dengan TNI, padahal sebelumnya sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru, Polri terkesan berada di bawah TNI. Dapat dikatakan di sini, salah satu faktor yang menyebabkan ketegangan dan konflik adalah post power syndrome TNI terhadap Polri. Hal ini dapat terlihat dengan sikap dan pernyataan anggota TNI yang merasa kewenangannya semakin terbatasi dan merasa tugas dan kewenangan Polri terlalu besar, yang membuat anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri. Ketika masih menjadi satu dalam ABRI, polisi merupakan unsur yang terkesan inferior jika disandingkan dengan ketiga angkatan TNI, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Polisi merasa sungkan untuk mengusut kasus yang didalamnya melibatkan unsur TNI. Sehingga ketika Polri telah dipisahkan dari TNI banyak anggota Polri yang bertindak ”lepas kendali” yang serta merta dengan hal itu ”sumber kekuasaan” atau ”sumber fasilitas” dari anggota Polri menjadi sulit dinikmati anggota TNI. Ungkapan tentara di lapangan bahwa polisi “sombong sekali, padahal dulu cuma adik kecil kami,” atau sebaliknya di aparat kepolisian di lapangan bahwa, “tentara jangan mengurusi urusan keamanan yang jadi wewenang polisi,”, adalah sesuatu yang umum. Banyak anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri[10]. Hal tersebut dikarenakan TNI masih merasa superior jika berhadapan dengan polisi.
Ketiga, kemudian adalah mengenai esprit de corps yang sempit. Hal ini mengakibatkan rasa kecintaan terhadap kesatuan yang besar dan menganggap kesatuan lain kecil. Dominasi konstruksi ideologi yang tertanam pada jiwa masing-masing kesatuan itu menjadi faktor pendukung yang kuat ketika terjadi perselisihan. Wujudnya berupa sikap egois, rasa berbeda, rasa tersaingi dan rasa melebihi dari yang lain. Membuat permasalahan kecil yang semula terjadi hanya antar individu yang kebetulan berbeda kesatuan, melebar menjadi ketegangan dan bahkan hingga ke konflik antar kesatuan.
Faktor terakhir penyebab ketegangan dan konflik bersenjata antara TNI dan Polri yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai faktor pemenuhan kesejahteraan antara anggota TNI dan Polri. pengelolaan sektor keamanan yang dialihkan dari tangan tentara ke polisi, mengandung konsekuensi ekonomi praktis, yaitu hilangnya akses sumberdaya tentara. Dalam hal prajurit, sekaligus berarti sumber penghasilan tambahan yang hilang. Anggota TNI saat ini tidak boleh lagi berbisnis, sementara penghasilan yang diperoleh belum mampu mensejahterakan kehidupan anggota TNI, sedangkan polisi dengan gaji yang sama diterima anggota TNI namun masih memperoleh tambahan dari berbagai kegiatan yang dilakukan, seperti dari urusan lalu lintas yang sering disalahgunakan sehingga dapat memberikan penghasilan lebih. . Polri menjadi semacam penguasa baru di daerah tanpa dibarengi dengan penguatan kelembagaannya. Terdapat kesenjangan penerimaan fasilitas saat melakukan tugas di tengah masyarakat akibat adanya perbedaan akses. Masalah kesejahteraan adalah juga menjadi salah satu faktor penyebab bentrokan. Perbedaan tingkat kesejahteraan antara prajurit TNI dan Polri sebagai salah satu akar permasalahan. Ini memunculkan kecemburuan TNI. Hal-hal tersebut menimbulkan kecemburuan dari anggota TNI. Persepsi-persepsi sedemikian tersebut membuat ketegangan-ketegangan dan berujung ke konflik antara TNI dan Polri kerap terjadi.
Profesionalisme berarti melakukan tugas dan fungsi dengan benar sesuai bidang pekerjaannya. Polisi mengemban tugas penegakan hukum, menjaga ketertiban hidup sehari-hari dalam masyarakat, melindungi keselamatan dan ketentraman serta ketertiban hidup anggota masyarakat. Sementara TNI mengemban tugas untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, menjaga keutuhan wilayah negara, dan menjaga keselamatan serta martabat bangsa dan negara. Akibat berbagai faktor di atas, terutama faktor ekonomi yang menyebabkan kecemburuan antara pihak TNI dan Polri, menyebabkan hubungan antara keduanya seringkali tegang dan bahkan kemudian mengarah ke konflik fisik yang seringkali berakibat fatal, baik bagi kedua institusi tersebut, maupun juga berimbas ke masyarakat umum. Tugas-tugas pertahanan dan keamanan seperti tersebut di atas yang menjadi tanggung jawab TNI-Polri menjadi tidak bisa terlaksana dengan baik. Menuntut profesionalisme anggota TNI-Polri, namun tanpa memperhatikan persoalan kesejahteraannya adalah hal yang kurang dapat diterima. Hal tersebut juga dikemukakan petinggi Polri, Komjen Susno Duadji, dalam bukunya, “ Manalah mungkin menuntut dedikasi tinggi dan memelihara kejujuran polisi-polisi yang dapurnya tak berasap…[11]”.
Demikianlah, pola hubungan TNI – Polri yang memburuk setelah pemisahan Polri dari ABRI. Terjadi mulai dari ujung barat hingga timur Indonesia. Seperti konflik antara Batalyon 111 Kompi B TNI-AD melawan anggota Brimob di Aceh pada 25 November 2004, pada 27 Februari 2001 terjadi bentrokan antara Brigade Mobil (Brimob) Polri dengan TNI di Pelabuhan Sampit, Kalimantan Tengah. Kemudian terjadi bentrokan juga di Sulawesi, pada 9 Januari 2006, bentrokan pecah di Poso, Sulawesi Tengah, juga pada 13 Januari 20007 terjadi bentrokan antara Kodim 1307 TNI-AD melawan Polri di Poso, Sulawesi Tengah melibatkan Brimob Polri melawan TNI-AD.
Selain itu bentrokan juga terjadi di Jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti pada tanggal 29 April 2005 terjadi bentrokan antara TNI melawan Polri di Cimanggis, Depok, di Gianyar, Bali pada 29 September 2005, dan pada 10 Desember 2006 di Atambua, NTT, antara Yonif 744 TNI-AD melawan Provost Polres Belu, juga pada tanggal 24 September 2007 bentrokan kembali terjadi yang melibatkan TNI-AD Batalion Infanteri 732 Benau dengan Polda Maluku Utara di Ternate, Maluku Utara. Konflik bersenjata antara TNI dengan Polri ini pun kemudian juga merambah hingga daerah Paling timur Indonesia, seperti pada tanggal 7 Oktober 2007 di Mimika, Papua antara TNI AD melawan Satlantas Polres Mimika. Sebaran konflik yang merata di hampir seluruh penjuru Indonesia ini menandakan bersifat sistemik, bukan bersifat kasuistik.
Faktor-faktor di atas menjadi penyebab ketegangan hubungan dan konflik antara TNI dan Polri. Profesionalisme berarti melakukan tugas dan fungsi dengan benar sesuai bidang pekerjaannya, namun akibat berbagai hal di atas, TNI dan Polri menjadi kurang profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
[1] Antara lain pengurangan kursi Fraksi TNI/Polri di DPR, sejak 18 November 1966 sampai dengan Pemilihan Umum 1987, jumlah anggota ABRi di DPR sebanyak 75 orang. Kemudian ketika periode 1987-1992, jumlah tersebut meningkat menjadi 100 orang, dan kembali menjadi 75 orang pada periode 1992-1997. kemudian berkurang menjadi 38 orang pada 1999. lihat, Yahya A. Muhaimin, Bambu Runcing & Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertahanan Indonesia, ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008 ), hal 53
[2] Pada konsep profesionalisme konvensional yaitu militer yang hanya digunakan sebagai alat pertahanan negara. Militer yang profesional adalah yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan tanggung jawab dalam pertahanan negara dan harus terbebas dari urusan-urusan non militer karena dapat memberikan ketidakkonsentrasiaan terhadap tugas pertahanan negara yang sedang dilaksanakan. Sementara konsep new profesionalism, negara-negara di dunia ini sedang menghadapi keadaan perang semesta, dan menghasilkan ancaman-ancaman bagi integritas negara bangsa. Ancaman-ancaman tersebut berupa ancaman ideologis, maupun ancaman sosial, ekonomi dan politik. Untuk mengatasi dan memenangkan perang tersebut diperlukan pendayagunaan seluruh potensi nasional yang ada serta kemampuan bangsa seoptimal mungkin. Dalam perspektif Indonesia dikenal dengan konsep jalan tengah. Dalam pidatonya 12 November 1958, Nasution berkata militer Indonesia tidak bisa meniru konsep professionalisme gaya Eropa Barat yang pasif dalam politik, namun militer Indonesia juga tidak dapat meniru gaya-gaya militer Amerika Latin yang masuk ke arena politik secara langsung. Atas dasar inilah Nasution kemudian menelurkan konsep jalan tengah. Dalam konsep ini Nasution berargumen bahwa sikap profesional militer sebagai alat pertahanan negara tetap terjaga dalam kesatuan, namun juga harus diberi kesempatan untuk berperan dalam bidang selain kemiliteran. Lihat, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hal 116; lihat juga, Soebijono dkk, Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998) , hal vi-vii
[3] Diktum kedua Instruksi Presiden Republik Indonesia no. 2 Tahun 1999. http://welcome.to/RGS_Mitra diakses 5 Oktober 2009
[4] Lihat, S. E. Finer, The Man on Horseback (New York: Frederick A. Praeger, Publisher, 1962), hal 25-30. supremasi sipil, dalam konteks menerapkan negara demokrasi, yaitu : Pertama, tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia; Kedua, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Ketertiban dan keamanan dalam negeri terutama urusan polisi, jaksa, pengadilan, dan badan sipil lain yang memelihara keamanan dan ketertiban umum; Ketiga, tentara tidak boleh terlibat ”politik praktis”. Lihat, Juwono Sudarsono, Demokrasi, Supremasi Sipil, dan Tentara, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/24/opini/2146320.htm.diakses 18 Maret 2008.
[5] Lihat, Yahya A. Muhaimin, Bambu Runcing & Mesiu…, op. cit, hal 55. lihat juga, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer..., op. cit, hal xxv-xxvii.
[6] Ibid, Bambu Runcing & Mesiu…, hal 2
[7] Lihat, Juwono Sudarsono, Demokrasi..., op. cit.
[8] Lihat, Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 2; lihat juga Undang-Undang No 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 5 dan Pasal 6.
[9] Yahya A. Muhaimin, op. cit,. hal 36-37.
[10] Ibid, hal 39-40
[11] Izharry Agusjaya Munzir, Bukan Testimoni Susno, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal 28-29.