Kamis, 20 Mei 2010

TINDAKAN KEKERASAN DI IPDN: PENAFSIRAN TRADISI DAN BUDAYA MILITER MENJADI TRADISI DAN BUDAYA KEKERASAN DALAM RUANG PENDIDIKAN SIPIL



“ Semua umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam martabat dan hak – hak asasi. Mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani serta semestinya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.”
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1[1]
            Kekuasaan Orde Baru di Indonesia memunculkan ABRI sebagai salah satu aktor politik yang berpengaruh di Indonesia. Besarnya pengaruh politik ABRI tersebut perlahan tapi pasti telah menciptakan tradisi dan budaya militer, yang berkarakter disiplin dan terkomando pada banyak aspek kehidupan masyarakat. Oleh masyarakat Indonesia tradisi dan budaya militeristik ini kemudian diadopsi dalam berbagai aspek kehidupan.
            Tradisi yang bersifat militeristik dapat ditemukan di mana-mana, seperti pada upacara seremonial, selain itu tradisi dan budaya militer juga masuk ke dalam dunia pendidikan. Seperti dapat dilihat keberadaan Resimen Mahasiswa di kampus perguruan tinggi yang pertama kali dikukuhkan pada tahun 1975 oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri yaitu Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Menhankam/Pangab), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri melalui SKB No: Kep/39/XI/1975 dan ditindak lanjuti SKB No: Kep/02/1/1978 kemudian SKB tahun 1994.[2] Selain itu dalam hal pendidikan, dapat dilihat pula lembaga-lembaga pendidikan sipil namun menggunakan peraturan, atribut, juga sikap layaknya seorang militer.
            Pendidikan bergaya militer yang dimaksudkan untuk membentuk pribadi siswa yang disiplin, dalam prakteknya kemudian menghasilkan tradisi dan budaya kekerasan dalam lingkungan pendidikan tersebut, yang sebenarnya tidak sepenuhnya terdapat dalam pendidikan militer.
Penafsiran bahwa budaya militer adalah budaya yang keras kemudian menciptakan persepsi bahwa mendidik seperti militer adalah berarti pendidikan yang juga menghalalkan tindakan kekerasan dalam mendisiplinkan peserta didik. Penerjemahan yang salah tersebut kemudian mewujud ke dalam tindak kekerasan, baik fisik maupun verbal, kepada peserta didik dan hal tersebut mengarah kepada tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah mengenai tindak kekerasan yang terjadi di IPDN. Kekerasan yang terus berulang terjadi ini sebagai akibat dari terus dibiarkannya budaya kekerasan yang terjadi dalam lembaga pendidikan tersebut.

Kekerasan yang Terjadi di IPDN
            Pendidikan tidak seharusnya dinodai dengan tindak kekerasan yang tidak dapat dibenarkan. Pendidikan seharusnya merupakan jalan agar seorang manusia dapat membangun jiwanya agar lebih bijaksana dan memiliki sikap toleransi. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan, Bab I ayat 1, telah sangat jelas diuraikan bahwa Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[3]
            Tindak kekerasan yang terjadi di IPDN hingga saat ini menunjukkan bahwa pihak pengelola lembaga pendidikan belum mampu mengubah kultur yang selama ini telah tertanam dalam jiwa mahasiswanya. Kultur pendidikan militer yang kemudian ditafsirkan secara berbeda menjadi kultur kekerasan itu terbangun terus menerus, terbangunnya kultur yang demikian karena tindak kekerasan yang dilakukan tersebut kemudian menimbulkan rasa dendam pada diri siswa yang dipukul dan menyebabkan keinginan untuk membalas. Pembalasan tidak mungkin dilakukan pada pelaku pemukulan karena rasa takut, tapi akan tersalur kepada orang lain yaitu adik kelasnya.[4] Hal demikian berulang terus menerus sehingga siklusnya tidak terputus dan menghasilkan tradisi dan budaya kekerasan[5] di lingkungan pendidikan.
            Tanggal 3 April 2007, peristiwa meninggalnya Cliff Muntu[6], salah seorang praja tingkat II di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Sebelumnya pada 2 September 2003 terjadi peristiwa yang hampir sama yang menewaskan praja Wahyu Hidayat.[7] Tiga tahun sebelumnya, tahun 2000, praja Erie Rakhman juga tewas.[8] Ketiga peristiwa di atas menjadi bukti budaya kekerasan yang terdapat dalam institusi pendidikan itu.
            Jika kondisi semacam itu berlangsung pada setiap angkatan, terjadi lingkaran kekerasan. Tradisi itu membentuk batasan tersendiri yang khas kampus bersangkutan, antara lain menyangkut pertama, definition of activity. Kekerasan yang sudah lama dipraktikkan di lingkungan setempat akan dianggap wajar oleh komunitas di tempat itu, meski amat bertentangan dengan nilai-nilai umum di masyarakat. Kedua, definition of social relation. Individu yang terbiasa dengan lingkungan kekerasan akan mendefinisikan hubungan sosialnya dengan simbol kekerasan.[9]
  
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Terjadi
            Berdasarkan Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 Butir 4, Penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan  atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.[10] Sedang penyiksaan menurut Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Pasal 1 adalah
            Kemudian definisi pelanggaran hak asasi manusia menurut Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal  1 Butir 6 adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
            Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.[12] Hal di atas cukup menjelaskan bahwa hak setiap orang uuntuk memperoleh pendidikan tidak boleh dihalangi oleh tindakan yang melanggar hak asasi manusia, salah satunya adalah tindak kekerasan yang dilakukan baik oleh pengajar kepada peserta didik, maupun sesama peserta didik. 
            Berdasarkan definisi tentang penyiksaan yang tersebut di atas maka tindakan kekerasan yang dilakukan di IPDN adalah perbuatan penyiksaan yang melanggar hak asasi manusia karena tindakan yang dilakukan tersebut adalah tindakan yang berlawanan dengan  Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Pasal 1, juga bertentangan dengan Undang – Undang No 39 tahun 1999 karena telah diadakannya tindak penyiksaan sehingga menyebabkan berkurangnya hak seseorang untuk mendapatkan perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, serta meningkatkan kualitas hidupnya juga hak orang untuk  bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.[13] Selain itu juga mengurangi hak orang untuk rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.[14] Kemudian pelanggaran yang selanjutnya yang terjadi adalah pelanggaran mengenai hak hidup seseorang. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.[15]
            Budaya kekerasan yang terjadi di IPDN adalah budaya yang tercipta akibat penafsiran yang keliru terhadap pendidikan berbasis militer yang kemudian mengarah pada tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Tindak kekerasan yang terjadi di IPDN hingga saat ini menunjukkan bahwa pihak pengelola lembaga pendidikan belum mampu mengubah kultur yang selama ini telah tertanam dalam jiwa mahasiswanya.
            Melihat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sudah seharusnya pemerintah menindak tegas pelakunya dan segera memperbaiki sistem dan sturktur pendidikan yang terdapat di IPDN. Kejahatan dalam dunia pendidikan ini berlangsung karena diberi ruang oleh struktur yang sah, senior diberi hak atau dibiarkan menindas juniornya.
Hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi.[16] Berdasarkan Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 71,  Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.[17]
Oleh karena itu pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment ke dalam hukum nasionalnya dengan Undang – Undang No. 5 Tahun 1998 maka seharusnya mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
Selain dituntut peran pemerintah yang lebih aktif dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti telah disebutkan di atas, sewajarnya juga setiap individu khususnya dalam lingkungan di IPDN, selain itu juga masyarakat luas mampu menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang mengarah pada tindak kekerasan yang kemudian menjurus pada tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Juga aktif melaporkan setiap tindakan seperti yang disebut di atas agar penegakan hak asasi manusia dapat diwujudkan. Seperti yang disebutkan dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 100, Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.[18]
Demikianlah telah diuraikan bagaimana tradisi dan budaya militer telah disalah artikan menjadi budaya kekerasan dalam ruang pendidikan sipil yang kemudian mengarah pada tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dalam kasus di atas adalah tindakan kekerasan di IPDN. Bagaimanapun semua pihak wajib berperan dalam upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia, pemerintah juga seharusnya mampu bertindak tegas dan mengubah sistem dan struktur pendidikan yang terdapat dalam IPDN sehingga lembaga pendidikan ini dapat berjalan seperti lembaga pendidikan sewajarnya.




Daftar Pustaka
Adil, edisi 14, 19 April – 02 Mei 2007. Jakarta: Media Insan Semesta.   
Miller, Lynn H. 2006. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin, Yahya A. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nitibaskara, TB. Ronny.2008. Lingkaran Kekerasan STPDN. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0309/26/opini/580421.htm diakses 24 Mei 2008
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment



[1] Lihat, Lynn H. Miller, Agenda Politik Internasional, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 ), hal 378
[2] Lihat, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002 ), hal xiv
[3] UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[4] Lihat, Hukuman dalam Mendidik Bukan Alasan Menghalalkan Kekerasan, dalam Adil No. 14, 19-02 Mei 2007, hal 60.
[5] Terbentuknya lingkaran kekerasan, bisa jadi ada kontribusi dari junior yang dalam konteks kekerasan ini adalah pihak yang menjadi korban. Sedikitnya ada tiga faktor yang menguasai cara berpikir "korban" yang dapat membantu kian kukuhnya lingkaran kekerasan itu.
Pertama, Compliance, junior patuh, tidak melawan karena hal ini dipandang oleh yang bersangkutan sebagai usaha menghindarkan diri dari hukuman yang lebih keras. Dengan menyerah dan menerima segala perlakuan buruk, berharap agar siksaan lekas berhenti dan tidak timbul kekerasan lain yang lebih keji.
Kedua, identifikasi. Pada cara berpikir ini, junior tabah menerima deraan yang penuh kesakitan karena ia tidak ingin dikeluarkan dari kelompok. Mereka berharap menjadi bagian dari kelompok, tidak hendak dicap sebagai pengecut. Dorongan untuk tetap menjadi mahasiswa membuat mereka tabah, dan perlahan-lahan mulai mencari pembenaran atas kekerasan yang berlangsung. Proses identifikasi inilah yang barangkali nantinya akan membekali para praja berlaku kejam pula pada mahasiswa yang datang kemudian. Namun, karena tidak ada standar baku, perlakuan itu akan bertambah keras dan bengis.
Proses berpikir ketiga adalah internalisasi. Pada tahap ini junior berusaha menyerap semua yang didapat di STPDN sebagai sesuatu yang baik karena berada di kampus itu sudah diidamkan sejak semula. Pandangan atau nilai pribadi dikalahkan agar dapat menerima apa-apa yang baru dijumpai meski disadari, hal itu buruk. Lihat, Tb Ronny Nitibaskara, Lingkaran Kekerasan STPDN, dalam http://64.203.71.11/kompas-cetak/0309/26/opini/580421.htm diakses 24 Mei 2008
[6] Lihat, IPDN Setor Mayat Lagi, dalam Opcit. Adil, hal 34
[7] Lihat, STPDN, Miniatur Indonesia yang Tercabik, dalam  http://www.sinarharapan.co.id/berita/0309/12/sh05.html diakses 24 Mei 2008
[8] Lihat, Keadilan Versus Keberingasan, dalam  http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2622&coid=1&caid=52 diakses 24 Mei 2008
[9] Ibid.
[10] Undang – Undang No. 39 tahun 1999, dalam http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=1999+0&f=uu39-1999.htm diakses 22 Mei 2008  
[11] Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
[12] Pasal 12 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid.
[13]  Pasal 33 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid.
[14]  Pasal 30 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid
[15] Pasal 9 butir 1 dan 2 Undang – Undang No. 39 tahun 1999, lihat Ibid.
[16] Lihat, Pasal 4 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999, Ibid; Juga disampaikan oleh Drs. Dafri Agussalim, MA dalam mata kuliah Pengantar Studi Hak Asasi Manusia Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL – UGM, Yogyakarta pada tanggal 09 Mei 2008.
[17] Pasal 71 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999, Lihat Ibid.
[18] Pasal 100 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999, Lihat Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar